Tampilkan postingan dengan label Natsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Natsir. Tampilkan semua postingan

25 Agustus 2008

Seabad Mohammad Natsir, Mengenang Sosok Da'i Negarawan yang Tangguh

Mengenang Alm. Mohammad Natsir tepat tanggal 17 Juli 2008 mencapai usia satu abad. Ia tidak hanya dikenal sebagai politisi, Perdana Menteri, Menteri Penerangan, Politisi ulung, sekaligus ulama di dunia Islam. Beliau sangat konsisten dalam memperjuangkan keutuhan bangsa, mengenalkan posisi Indonesia di mata internasional sampai sikap politik yang berprinsip kepada penegakan kebenaran dan keadilan. Sehingga langkah-langkahnya berseberangan dengan Presiden Soekarno sampai mendekam di penjara beberapa tahun karena beliau ingin menyelamatkan bangsa dari pengaruh komunisme dan demokrasi terpimpin yang tidak sehat.

Mohammad Natsir lahir di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalahpegawai juru tulis kontrolir dikampungnya. Beliau lahir dari seorang wanita salihah, Khadijah. Natsir dibesarkan dalam suasana keserdehanaan dan dilingkungan yang taat beribadah. Semangat mengaji terus tumbuh mulai kecil, walau Natsir sendiri mengenyam pendidikan barat, ghirah dalam menuntut ilmu agama tiada pernah lekang dan terus ingin mendalami Islam. Pendidikannya dimulai di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah, Padang kemudian pindah di HIS Solok, disanalah ia menghabiskan waktu menuntut ilmu. Pagi hari di HIS, sore di Madrasah Diniyah dan malam hari mengaji ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.
Tamat dari HIS, Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (SMP) (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Padang, dan di MULO-lah awal ia aktif berorganisasi di Jong Islamieten Bond (JIB) atau Perkumpulan Pemuda Islam cabang Sumatra Barat bersama Sanoesi Pane. Organisasi ini awalnya bergerak menentang para misionaris kristen sehingga JIB banyak melakukan konterpropaganda supaya aktivitas mereka tidak meresakan umat Islam di wilayah Sumatra Utara.

Natsir selalu haus ilmu, sehingga tamat dari MULO keinginan melanjutkan studi berlanjut. Ia mendapat beasiswa studi di AMS (Algemere Middlebare School) A-II setingkat SMA di Bandung karena kecerdasan intelektualnya. Di Bandung ia berkenalan dengan tokoh-tokoh ternama seperti H. Agus Salim dari Syarekat Islam dan Ahmad Soorkaty yang mendirikan organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah. Dua tokoh itulah yang berpengaruh besar dalam karir dakwah Natsir, disamping ada inspirator lain seperti Haji Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna, dan Imam Hasan Al-Hudhaibi.

Natsir merupakan organisator dan negarawan ulung. Karir politiknya mencuat setelah bergabung dengan organisasi Persatuan Islam (Persis) setelah banyak bergaul dan belajar dengan A. Hasan selaku aktivis Persis. Banyak pihak kagum atas kiprah, semangat juang, da'i yang tidak pernah lelah untuk menyerukan kalimatullah di muka bumi, baik di Indonesia maupun di dunia Islam. Natsir dan rekan seperjuangannya terus membela Islam, memperjuangkan dasar negara berdasarkan sistem Islam, karena negara tidak bisa dipisahkan dengan agama, beliau sangat anti sekularisme. Penentangan dari pihak-pihak yang menghina Islam, para kaum misionaris dan Yahudi serta lawan-lawan poltiknya selalu diatasi dengan tegas, bijak dan berwibawa.
Mohammad Natsir sangat dihormati oleh dunia Islam, ia adalah ulama, da'i militan yang tidak pernah menyerah dengan lawan, selalu membela kebenaran. Seperti yang pernah ia lakukan terhadap masalah Palestina, berkiprah di kancah internasional, dan ia selalu sederhana dalam bernampilan.

Mengenang seabad Mohammad Natsir, tidak akan lepas dari kiprah beliau yang banyak bergelut di berbagai organisasi dengan jabatan strategis. Berikut ini beberapa jabatan yang pernah diamanahkan kepada sosok da'i dan sekaligus negarawan ulung, Mohammad Natsir:
1. Ketua Jong Islamieten Bond, Bandung.
2. Mendirikan dan mengetuai Yayasan Pendidikan Islam di Bandung.
3. Direktur Pendidikan Islam, Bandung.
4. Menerbitkan majalah Pembela Islam, dalam melawan propaganda misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan kaki tangan asing.
5. Anggota Dewan Kabupaten Bandung.
6. Kepala Biro Pendidikan Kota Madya (Bandung Shiyakusho).
7. Memimpin Majelis Al Islam A'la Indunisiya (MIAI).
8. Menjadi pimpinan Direktorat Pendidikan, di Jakarta.
9. Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta.
10. Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
11. Anggota MPRS.
12. Pendiri dan pemimpin partai MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Dalam pemilu 1955, yang dianggap pemilu paling demokratis sepanjang sejarah bangsa, Masyumi meraih suara 21% (Masyumi memperoleh 58 kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi). Capaian suara Masyumi itu belum disamai, apalagi terlampaui, oleh partai Islam setelahnya, hingga saat ini.
13. Menentang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda dan mengajukan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dikenal dengan Mosi Integrasi Natsir. Akhirnya RIS dibubarkan dan seluruh wilayah Nusantara kecuali Irian Barat kembali ke dalam NKRI dengan Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri-nya. Penyelamat NKRI, demikian presiden Soekarno menjuluki Natsir.
14. Menteri Penerangan Republik Indonesia.
15. Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
16. Anggota Parlemen. Penentang utama sekulerisasi negara, pidatonya "Pilih Salah Satu dari Dua Jalan; Islam atau Atheis" di hadapan parlemen, memberi pengaruh yang besar bagi anggota parlemen dan masyarakat muslim Indonesia.
17. Anggota Konstituante.
18. Menyatukan kembali Aceh yang saat itu ingin berpisah dari NKRI.
19. Mendirikan dan memimpin Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang cabang-cabangnya tersebar ke seluruh Indonesia.
20. Wakil Ketua Muktamar Islam Internasional, di Pakistan.
21. Aktif menemui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela Palestina.
22. Anggota Dewan Pendiri Rabithah Alam Islami (World Moslem League), juga pernah menjadi sekjennya. Natsir adalah pemimpin dunia Islam yang amat dihormati—Sekretaris Jenderal Rabitah Alam Islami meminta hadirin berdiri saat pak Natsir memasuki ruang sidang organisasi dunia Islam itu.
23. Anggota Majelis Ala Al-Alamy lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia).
24. Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London.
25. Pendiri UII (Universitas Islam Indonesia) bersama Moh. Hatta, Kahar Mudzakkir, Wahid Hasyim, dll. Juga enam perguruan tinggi Islam besar lainnya di Indonesia.
26. Ketika presiden Soeharto kesulitan menuntaskan konforontasi Indonesia-Malaysia (yang dimulai presiden Soekarno), berkat bantuan dan jasa hubungan baik Natsir dengan Perdana Menteri (PM) Tengku Abdul Rahman, Malaysia membuka diri menyelesaikan konfrontasi, dan Letjen TNI Ali Moertopo, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, diterima/berunding pejabat Malaysia.
27. Berkat jasa hubungan baik Natsir dengan PM Fukuda juga, pemerintah Jepang bersedia membantu Indonesia setelah perekonomian negara ambruk di masa Orde Lama dan setelah pemberontakan G 30 S/PKI.
28. Karena jasa baik dan pengaruh ketokohan DR. Muuhammad Natsir pula, Presiden Soeharto diterima di negara-negara Timur Tengah dan Dunia Islam. Natsir adalah anak bangsa Indonesia yang pernah menjadi tokoh Dunia Islam yang begitu dihormati sepanjang sejarah Indonesia—bahkan sampai sekarang. (www.penamuslim.com)

Disamping mahir berorganisasi sehingga menjadi negarawan ulung, beliau adalah seorang pendidik sehingga menjabat dalam berbagai posisi strategis. Mohammad Natsir sangat cinta kepada Islam. Ia adalah seorang da'i yang mendidik umat, memperhatikan kemaslahatan dan terus mengabdikan dirinya dijalan dakwah. Disamping itu, ia seorang cendekiawan yang intelektualnya ditasbihkan dalam tulisan. Mulai berdakwah lewat Majalah Pembela Islam, Majalah Pandji Islam dan banyak berkarya dalam dunia perbukuan untuk selalu mewariskan tsaqafah-nya. Hampir semua buku yang ia tulis berbahasa Arab yang bernuansa Islami. Hal ini menunjukkan betapa besar perhatian pada dinul Islam sebagai agama penyempurna dan paripurna.

Karya-karya Mohammad Natsir antara lain: Fiqhud Da'wah (Fikih Dakwah), Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih Salah Satu dari Dua Jalan), Shaum (Puasa), Capita Selecta I, II, dan III, Dari Masa ke Masa, Agama dalam Perspektif Islam dan masih banyak lagi. (Dikutip dari buku "Mereka Yang Telah Pergi" karya Abdullah Al-'Aqil dan Majalah Al-Mujtama' Edisi 3).

Perjalanan hidup Mantan Perdana Mentri RI terus berlawanan dengan pihak yang tidak senang dengan pandangan politik dan kebijaksanaannya. Walaupun ia sangat mati-matian memperjuangkan nasib dan kepentingan umat, bangsa dan negara. Sebagai contoh ia terkenal dengan Mosi Integral yang menyatukan keutuhan NKRI, kiprah di dunia pendidikan juga dengan getol ia lakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Islam. Dunia mengakuinya, namun di negerinya sendiri mulai dari rejim Soekarno dan Soeharto telah memandang sebelah mata. Ia beberapa kali masuk penjara, berjuang diputan-hutan dan sampai dilarang pergi keluar negeri oleh pemerintahan Soeharto karena ketokohannya yang sangat disegani dan dihormati di kancah perpolitikan Islam.

Kini Mohammad Natsir telah wafat. Namun semangat juang untuk meneggakan kalimatullah, bertauhid, selalu membahana dihati orang-orang yang mencintainya sebagai penerus perjuangan dakwah ini. Mohammad Natsir, dikenal dengan keserdehanaan hidup, kecerdasan intelektul, piawai dalam berpidato yang sangat menyentuh, organisator handal, kerja keras pantang menyerah dalam berdakwah, tauhidnya yang lurus menjadikan dirinya menjadi tokoh Nasional yang diakui dunia dan terus mengabdi demi kepentingan umat.

21 Agustus 2008

Mohammad Natsir

Pahlawan NKRI yang Terlupakan


HARI­-haripun runtuhlah satu demi satu seperti butiran tasbih yang membangunkan minggu serta bulan dan bahkan abad. Begitulah panjang penantian nan tak berkesudahan. Meniti ke angka 17 di bulan Juli ini tak pula tampak pertanda. Entah kapan (lagi) penghargaan sebagai Pahlawan Nasional bakal disampirkan kepada Mohammad Natsir, Perdana Menteri yang pertama memahatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menjadi pijakan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga TNI, bahkan hingga hari ini.

Terlahir di bumi Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, dari rahim Khadijah, Mohammad Natsir bin Idris Sutan Saripado, 17 Juli 1908, tumbuh membesar menjadi anak yang cerdas, tak pernah bayar sekolah, dan taat beribadah. Namanya melambung sedari muda—melalui polemiknya dengan Soekarno—dan karirnya melonjak-lonjak seperti tak berkesudahan sampai takdir menentukan, tiga kali kaki menapak ke kursi Menteri Penerangan di masa awal kemerdekaan.

Mohd. Natsir—demikian tertulis pada namanya—sangat terkenal dengan Mosi Integral ketika menjadi ketua fraksi terbesar di parlemen, Masyumi. Atas prakarsanya berhasil menggolkan bentuk negara NKRI dengan melobi tokoh lintas partai dan kekuatan elite politik nasional—dari yang paling lunak sampai yang paling keras, dari tokoh fraksi yang paling kiri sampai yang paling kanan—melalui pendekatan yang sangat manusiawi dengan cara­cara yang bermartabat, tanpa seorangpun merasa direndahkan dan atau disepelekan. Dan buah keringatnya berhasil mempersatukan kembali persada Nusantara yang sebelumnya sempat dipecah­pecah Belanda. Namanyapun melangit menembus dan melintasi lima benua.

Seorang ahli Ilmu Politik, M. Noer, Ph.D., seranta menyebut jasa besar Natsir bahkan sampai berani mengatakan Indonesia memiliki dua buah proklamasi. Pertama, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan, kedua, Proklamasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanggal 17 Agustus 1950, yang kedua­duanya diproklamasikan oleh orang yang sama: Soekarno dan Hatta. Yang membedakan keduanya, pada proklamasi pertama Soekarno­-Hatta menyatakan diri atas nama bangsa Indonesia, sedangkan pada proklamasi kedua, ketika itu, Soekarno adalah Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta adalah Perdana Menteri RIS. Tapi perbedaan itu sungguh tidak penting. Ada terkandung makna yang jauh lebih penting dan mendasar dari kedua proklamasi itu.

Proklamasi tahun 1945 dikumandangkan dengan pernyataan bahwa penjajahan kolonial terhadap bangsa­bangsa telah berakhir dan dengan ini bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Sedangkan proklamasi kedua tahun 1950 digelontorkan dengan pernyataan, “Pembubaran 17 negara­-negara bagian yang tergabung dalam RIS, termasuk Negara RI Yogyakarta (yang diproklamirkan 17 Agustus 1945), dan meleburkan diri ke dalam sebuah negara baru yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”
Pada sebuah seminar nasional di Kota Padang, Sumatera Barat, tahun lalu Noer menegaskan bahwa pada proklamasi kedua bukan menyatakan “kembali kepada RI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945”. Karena RI 1945 juga turut “membubarkan diri” bersama Negara Sumatera Timur (NST), Negara Indonesia Timur (NIT), dan lalu bersama­sama meleburkan diri ke dalam NKRI.

Proklamasi NKRI merupakan “penyatuan kembali Republik Indonesia”, yang sebelumnya terpecah menjadi 17 negara bagian. Pembentukan negara­negara bagian ini, yang dipokali Belanda, merupakan negara­negara federasi dari RIS yang disebut juga Byzonder Federal Overleg (BFO). BFO, yang tak lain dari bentuk negara RI, merupakan landasan struktural dalam persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB), yaitu penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada RIS pada 27 Desember 1949 di Amsterdam. Penyerahan kedaulatan secara resmi dilakukan Ratu Juliana sebagai Kepala Negara Kerajaan Belanda kepada Moh. Hatta yang mewakili pemerintah RI.

Arkian, adalah Van Mook selaku Wakil Kerajaan Belanda di Indonesia yang membentuk Negara­negara bagian (BFO), yang kemudian menjadi RIS. Sedangkan RI Proklamasi 1945 yang kemudian disebut sebagai RI Yogyakarta, dijadikan sebagai salah satu negara bagian. Gelagat politik devide et empera ala kolonialis ini “bersemburat” segera tercium rakyat Malang. DPR Malang dari Jawa Timurlah yang mula pertama menyatakan melepaskan diri dari Negara Bagian Jawa Timur dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta pada 4 Januari 1950.

Ayunan serupa muncul di Sumatera. DPR NST pada sidangnya 9 Mei 1950 menuntut agar RIS dipertahan¬kan, sebaliknya Kongres Rakyat Sumatera Timur pada 7 Juli 1950 menuntut pembubaran NST. Tapi “polemik” diakhiri oleh Dr. Tengku Mansyur, Wali Negara NST, yang dalam pidatonya menganjurkan agar “mempercayakan kepada pemerintah RIS (di Jakarta) untuk penyelesaian bentuk negara, dengan harapan bahwa di kemudian hari otonomi daerah juga ditegakkan”. Sementara pergolakan untuk membubarkan RIS terus berkelanjutan di berbagai daerah dengan dalih bahwa RIS bukanlah apa yang dicita­citakan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945. Susanto Tirtoprodjo dari PNI misalnya menganjurkan negara­negara bagian agar bergabung ke dalam RI (Yogyakarta). RI Yogya akan menggantikan RIS dalam memerintah seluruh Indonesia. Namun negara bagian seperti NIT dan NST tak bisa menerima, mengingat mereka sama berkedudukan sebagai negara (bagian) yang sederajat. Di sinilah M. Natsir tampil menggulirkan rumusan yang baru.

Menurut Natsir, yang piawai bermain bahkan di luar lapangan, hal paling pokok yang mesti dipecahkan adalah bagaimana membentuk NKRI. Adalah hanya soal masalah teknis, tentang apakah dengan cara penggabungan negara­negara bagian ke RI Yogyakarta atau langsung seluruh negara­negara bagian ini ke NKRI. Natsir, yang oleh George McT. Kahin dari Cornell University dijuluki sebagai “he last giants among the Indonesia’s nationalist and revolutionary political leaders” (raksasa terakhir di antara tokoh nasionalis dan pemimpin politik revolusioner Indonesia), segera menggelontorkan kata­katanya yang sangat terkenal: “Pembentukan NKRI harus tanpa menimbulkan konflik antar negara¬negara bagian dan golongan dalam masyarakat.”

Sebagai Ketua Fraksi Masyumi, fraksi terbesar di parlemen, Natsir berlekas mengajukan Mosi Integral—sebuah langkah canggih yang amat dikenal para sejarawan. Sebuah mosi yang pada hakikatnya tak lebih: sengaja dibuat “samar-­samar”. Inilah mosi brilyan “dengan hak paten pada Natsir” yang diterima secara bulat oleh parlemen, dan kemudian diambil alih oleh pemerintah. Mosi Integral yang kemudian terbukti menyelamatkan Indonesia yang baru saja mendapatkan kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda, itu sungguh menarik dicermati. Untuk menjaga perasaan dan martabat para tokoh dan pemimpin­pemimpin itu, Natsir tidak menganjurkan negara­negara bagian membubarkan diri, tapi melebur. Yang paling sulit, katanya belakangan mengenang, adalah meyakinkan negara bagian RI Yogyakarta dengan Mr.Assaat sebagai Pejabat Presiden. Alot.

Sampailah pada ujung sebuah petang, terbukakan pikiran. “Saya berbicara dengan Kasimo dari Partai Katolik, Tambunan dari Parkindo dan sebagainya,” kata Natsir sembari menerawang memorinya yang amat kuat ke belakang. Melalui lobi­lobi yang sungguh tidak mudah selama dua setengah bulan, akhirnya Natsir memberi opsi kepada RI Yogya untuk memilih: membubarkan diri dan masuk ke NKRI atau berperang melawan negara­negara bagian lain seperti NIT dan Pasundan, Madura dan lainnya. Tak lupa Natsir mengingatkan bahwa duet Soekarno­Hatta yang dimiliki RI Yogya adalah modal utama. Tak ada negara bagian lain yang tidak setuju jika Soekarno­Hatta dijadikan Presiden dan Wakil Presiden NKRI. “Disinilah fungsi Soekarno­-Hatta untuk mempersatukan, untuk memproklamasikan, dan untuk mempersatukan kembali,” katanya.

Naskah autentik DPR RIS menunjukkan bukti pidato Natsir pada Mosi Integral, 3 April 1950, yang intinya berisi: (1) Semua negara­negara bagian mendirikan NKRI melalui prosedur parlementer, (2) Tidak ada satu negara bagian menelan negara bagian lainnya, dan (3) masing­ masing negara bagian merupakan bagian integral dari NKRI yang akan dibentuk.

Kooor, seluruh anggota parlemen pun sepakat, dan pada bulan itu juga kemudian memutuskan: “Menganjurkan kepada pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau sekurang­-kurangnya menyusun suatu konsepsi, menyelesaikan soal­-soal yang hangat yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik di waktu akhir­akhir ini dengan cara yang integral dan menyusun program tertentu.” Perdana Menteri M. Hatta—yang sudah amat tahu ke mana arah pikiran Natsir—dalam sidang kabinet RIS bahkan menyahuti, “Mosi Integral Natsir akan dijadikan pemerintah sebagai dasar penyelesaian persoalan­persoalan yang sedang dihadapi.” Akhirnya, mosi garapan Natsir ini terbukti mampu dan berhasil menegakkan bentuk NKRI secara demokratis dan konstitusional, yang kemudian diproklamasikan oleh Presiden Soekarno pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1950.

Berkat tangan dingin dan buah keringat Natsir inilah negara­bangsa dengan 17.000 pulau yang terhampar di zamrud katulistiwa ini, yang sebelumnya terpecah­pecah menjadi 17 negara bagian, terselamatkan. Inilah pula yang kemudian menjadi tiket utama dan mengantarkan Natsir, “si pengayuh sepeda onthel dan satu­satunya menteri yang berbaju tambalan” ini menapaki kursi sebagai Perdana Menteri pertama NKRI tahun 1950. “Natsirlah Perdana Menteri. Dia punya konsepsi untuk menyelamatkan Republik,” kata Presiden Soekarno. Dan bermula dari NKRI, buah tangan Natsir itu pula, sadar atau tidak (mau) sadar, telah lahir Sapta Marga dan Sumpah Prajurit di kalangan militer yang terus dipegang teguh hinga kini yang menyatakan untuk tetap tunduk patuh mempertahankan NKRI.

Dengan wajah ceria, pada sepotong sore yang redup seusai sholat Ashar, dalam wawancaranya dengan saya di kantor DDII Jalan Kramat Raya 45, sembari tersenyum­senyum Natsir kembali berkisah. Bahwa Mosi Integral yang diusulkannya sengaja dibuat samar­samar dan tidak jelas, agar tidak dicurigai Belanda. Maklum, belum lama berselang, Belanda baru saja menyerahkan kedaulatan pada pemerintah RI Yogyakarta. “Saya adakan Mosi Integral yang kabur­kabur, begitulah, ha ha ha.... Kabur, sebab kita tengah menghadapi Belanda. Jangan sampai nanti Belanda bikin kacau lagi. Belanda tidak boleh tahu mau ke mana perginya rencana itu,” kata Natsir sembari menerawang ke langit­langit. (Lihat Agus Basri, Politik Melalui Jalur Dakwah, Jakarta: Panitia Peringatan Releksi Seabad M. Natsir, Pemikiran dan Perjuangannya & Penerbit Media Dakwah, 2008).

Namun apa harus dikata. Kabinet Datuk Sinaro Panjang ini tak berumur panjang. Ini tak lepas dari ulah Soekarno yang tersinggung—dengan muka merah padam— tak suka pada Perdana Menterinya yang mengajak para menterinya sowan ke istana untuk berbicara soal Irian Barat (kini Papua).

Pada sebuah kesempatan, melalui poros kekuatannya yang ada di parlemen, Soekarno mempermainkannya. Natsir—yang di masa tuanya bercerita, tampak masih seperti teriris­iris— mengingat manakala dipermainkan dalam sidang­sidang sehingga tidak memenuhi quorum. “Permainan di parlemen yang menyebabkan (kabinet) saya jatuh. Ya, karena ulah Soekarno,” katanya. “Makanya, kabinet saya mengundurkan diri. Itu lebih baik. Saya tidak mau dipermainkan begitu.” Dan tengoklah apa kata Presiden Soekarno, tatkala Natsir mengembalikan mandat: “Saya sudah duga sejak semula,” kata Sang Putra Fajar dalam bahasa Belanda.

SEJAK lengser Natsir mengamati Soekarno kian berkilah dan mulai menyimpang dari UUD, ditambah pula langkahnya yang kian rapat dengan kekuatan komunis. Inilah pula yang membuat kalangan militer panas dingin, dan mengakibatkan terjadinya pergolakan di daerah, yang dipimpin para komandan militer seperti Achmad Husein dan Simbolon dari Sumatera.
Natsir yang dikenal suka “jalan dan diutus” menyelesaikan pergolakan sebelumnya, seperti dalam kasus DI/TII dengan Kartosuwirjo dan RMS, menyempatkan diri berangkat ke Sumatera menemui para pimpinan Dewan Banteng dan Dewan Gajah. Juga Dewan Garuda. Menurut Natsir, militer telah mengambil over pemerintahan dari gubernur­gubernur. Maka, “Kami menjalin kontak pribadi dengan mereka secara informal. Kami juga menanyakan kemungkinan mempersatukan kembali negara kita ini.”

Yang muncul ke permukaan kemudian sebuah usul kepada Pemerintah Pusat: Kabinet yang ada sekarang perlu menyerahkan mandat kepada Presiden, lalu dibuat kabinet baru dengan menampilkan M. Hatta sebagai Perdana Menteri dan Hamengku Buwono IX wakilnya. “Presiden tetap Presiden. Jadi, kami ini ingin kembali ke UUD, dan yang penting, bagaimana menyatukan negara ini kembali.” Tapi jawaban dari Jakarta adalah bom­bom berjatuhan di Kota Painan di pesisir selatan Sumatera Barat. Maka, Achmad Husein segera meraih mik Radio Bukittinggi dan mengumumkan pembentukan PRRI untuk menjalankan pemerintahan hingga terbentuknya kabinet yang dipimpin oleh Hatta, pada 15 Februari 1958.
Adalah kebetulan semata, di bawah kekuasaan Dewan Banteng pula, satu dekade atau 10 tahun sebelumnya Sjafruddin Prawiranegara juga memprakarsai (sekaligus juga dipercaya Pusat) membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Bedanya, menurut R.Z. Leirissa dalam buku PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (1991), “PDRI adalah usaha memimpin bangsa Indonesia melanjutkan perlawanan terhadap kolonialisme, sedangkan PRRI merupakan suatu usaha untuk menggalang kesatuan di antara pelbagai kelompok dalam bangsa Indonesia yang menolak konsepsi Presiden Soekarno dan pengaruh komunisme dalam negara dan bangsa Indonesia.”

Jika ditarik sedikit ke belakang, sikap Hatta yang mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada 1 Desember 1956—tidak lepas dari sikapnya menentang komunis —dan sikap Presiden Soekarno yang mulai terang­terangan menyatakan dukungannya terhadap komunis melalui konsepsinya yang dipidatokan pada 21 Februari 1957, kian memanaskan. Dan dibiarkannya kaum komunis menjadi anggota kabinet menjadikan suasana semakin gerah. Ini menyebabkan kian mengerasnya sikap masyarakat terhadap Pemerintah Pusat. Sementara oleh pihak Jakarta sikap itu diartikan sebagai menentang Pusat, separatisme.

Namun Leirissa menegaskan, “Data yang terkumpul menunjukkan bahwa kategori ‘separatisme’ tidak bisa dikenakan pada PRRI/Permesta, karena sejak semula tidak ada niat untuk memberontak. Masalahnya lebih banyak menyangkut hubungan hirarkis dalam ketentaraan yang sesungguhnya telah diselesaikan....”

Sebegitu, pun tak jauh berbeda dengan RPI (Republik Persatuan Indonesia). Menurut tokoh sekaliber Sumual, “Pembentukan RPI tidak jauh berbeda dengan pembentukan RIS dulu. Pembentukan RPI adalah suatu taktik perjuangan yang dirumuskan Dewan Perjuangan. Ketika itu, sangat diperlukan suatu wadah formal untuk menyatukan semua kekuatan yang sedang mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno,” katanya. Howard P. Jones, Duta besar AS untuk Indonesia (ketika itu), dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Djuanda, mengungkapkan, “Gagasan dalam bulan Maret (1956), menurut Djuanda, adalah seperti yang diinginkan Dewan Perjuangan, yaitu Hatta sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri.

Di sini kapasitas Natsir yang memahami semua yang terjadi, sebenarnya lebih berfungsi yang mengarah pada mediator “yang menengahi dan menyelesaikan”. Sebagaimana sebelumnya manakala “jalan” atau “diutus” menemui Kartosuwirjo dalam kasus DI dan juga kemudian RMS. Natsir yang telanjur berangkat ke Sumatera Barat dijadikan “tempat mengadu” sekaligus juga boleh jadi tameng yang berkaitan dengan tuntutan otonomi daerah dan pemerintah minus komunis. Beberapa tahun kemudian di awal Orde Baru komunisme dilarang, dan sejak awal era reformasi otonomi daerah diberlakukan. Jalan sejarah yang nyata mengairmasi perjuangan PRRI dan Natsir.

TIDAKLAH berlebihan pula manakala melihat dasar pijakan yang ada. Bahwa para tokoh PRRI/Permesa dan RPI pun berujung—selesai—dengan keluarnya amnesti. Maka wajar saja Pejabat Presiden/Ketua Presidium Ampera Jenderal Soeharto dalam pidato di depan Musyawarah Kerja antara Pemerintah Pusat dan Pejabat­pejabat Daerah 27 Juli 1967 di Jakarta menegaskan, “Mengenai mereka yang dahulu terlibat dalam PRRI, dan telah mendapatkan amnesti, pemerintah ingin menegaskan bahwa mereka sebagai warga negara Indonesia sama seperti yang lain.”

Tak pula berlebihan Badan Pembina Pahlawan Pusat (BPPP) meloloskan nama M. Natsir, termasuk salah satu dari tujuh calon kuat penerima gelar pahlawan nasional tahun lalu. Sebuah perjuangan yang belum juga usai, kata Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dalam seminar di aula Mahkamah Konstitusi, lantaran Datuk Sinaro Panjang ini mental di penghujung tahun lalu. Bahwa penyambutan “Seabad M. Natsir” yang digelar tahun ini dilakukan secara besar­besaran, tak lain lantaran memang demikian selayaknya menghargai jasa besar orang besar, yang membaktikan diri pada negara dengan bentuk negara NKRI dan membesarkaan bangsa dan agamanya. Di sinilah mayoritas umat Islam sudah tentu, dan pasti tahu, bakal memberikan taruhannya pula untuk memilih dan menentukan pemimpin yang sebenarnya. Bahkan untuk jabatan seorang presiden

19 Agustus 2008

Biografi Mohammad Natsir

Mukmin Negarawan dan Ulama Kharismatik


Lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908, anak dari pasangan Idris Sutan Saripo-Khadijah ini diberi nama Mohammad Natsir atau lebih dikenal dengan panggilan Pak Natsir. Pada usia 8 tahun masuk HIS (Hollandse Inlandse School/ Sekolah Dasar) di kota Padang. Beberapa bulan kemudian pindah ke HIS di Solok. Untuk pelajaran agama, diperolehnya di Madrasah Diniyyah di kampungnya pada sore hari.
Setelah tamat HIS, Pak Natsir melanjutkan ke MULO (Midlebare Uitgebreid Larger Onderwys/ setingkat SMP) selama empat tahun dari 1923 sampai 1927. Pada masa itu, untuk masuk MULO setidaknya harus memiliki intelektual yang memadai, mampu berbahasa Belanda, dan biasanya anak orang terpandang. Demi melanjutkan sekolahnya, Pak Natsir rela berpisah dengan orang tua dan kampungnya untuk melanjutkan ke AMS (Algemene Midlebare School/ Sekoah Lanjutan Atas) di Bandung. Disinilah beliau berkenalan dengan pergaulan yang lebih luas, baik pergaulan fisik, amupun pemikiran.
Di sekolah umum, Pak Natsir mendapat target yang tidak mudah. Setiap tahun beliau harus menyelesaikan 25 buku karya sastra dari para sastarawan besar yang ternama, karena bacaaan tersebut akan diujikan pada akhir tahun. Tidak mengherankan pada usia 21 tahun, beliau menguasai bahasa Arab, Belanda, Jerman, Inggris, Latin, dan Prancis. Dan bisa menjelaskan peradaban dunia yang berbasis Islam, Romawi, Yunani dan Barat.
Di Bandung inilah, Pak Natsir bertemu dengan Ahmad Hasssan, seorang tokoh Persis (Persatuan Islam), dan berguru dengannya. Sebagai seorang pimpinan ummat, Tuan Hassan mengajak dan memperkenalkan Pak Natsir dengan dunia ergerakan dan politik. Beberapa kali malah Pak Natsir diajak menjenguk Soekarno yang disel Belanda di penjara Sukamiskin.
Jika sudah duduk dengan Tuan Hassan, Pak Natsir bisamenghabiskan waktu berjam-jamuntuk berdialog dan berdiskusi, mulai dari masalah agama, politik, dan pertarungan ideologi di kancah dunia. Salah satu yang menjadi bahasan serius adalah kiprah orientalis Belanda, Snouck Hurgronje.
Persentuhan ini turut memompa jiwa perjuangan Pak Natsir. Beliau tercatat sebagai salah satu motor penggerak Jong Islamiten Bond, Perkumpulan Pemuda Islam yang mempunyai visi dan misi perjuangan. Pak Natsir rapat bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan lain, seperti Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, dan Prawoto Mangkusasmito, Haji Agus Salim, Ahmad Soorkati, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Tjipto Mangoenkoesoemo.
Selain berguru dengan Tuan Hasssan, Pak Natsir juga berguru dengan Haji Agus Salim, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Dengan Haji Agus Salim, Pak Natsir berguru tentang politik. Dan ditangan Haji Agus Salim jugalah, bakat kepemimpinannya makin terasah.
”Apakah saya harus memecahkan ini atau saudara-saudara? Saudara-saudara harus berlatih menjadi seorang pemimpin. Dan seorang pemimpin itu, bedanya dengan yang dipimpin ialah, bahwa di suatu saat yang penting dia dapat memilih antara dua atau lebih alternatif. Kemampuan untuk memilih dua atau lebih alternatif itulah ciri dari seorang pemimpin. Tapi kalau saya kunyahkan untuk saudara-saudara agaimana memecahkan masalah ini, kapan saudara akan menjadi pemimpin? Kalau terus saja kamu sekalian saya berikan bagaimana harus begini begitu, maka tidak pernah akan matang kamu untuk menjadi memimpin dan akan tetap menjadi pengikut.” Inilah nasehat Haji Agus Salim kepada murid-muridnya, termasuk Pak Natsir yang menjadi pendororng dalam mematangkan jiwanya.
Pada masa kemerdekaan, Pak Natsir memulai kiprah politiknya sebagai Menteri Penerangan pada Kabinet Syahrir. Beliaulah Menteri Penerangan pertama yang menjabat sebanyak tiga kali berturut-turut, dua kali pada masa kabinet Syahrir, dan satu kali pada masa kabinet Hatta. Pak Natsir juga tercatat sebagai salah satu pendiri Partai Masyumi yang memiliki suara signifikan pada Pemilu Indonesia Pertama.
Kharisma Pak Natsir dikagumi oleh teman dan disegani oleh lawan. Seorang Soekarno saja, yang pemikirannya selalu ditantang dan dikritisi oleh Pak Natsir, tidak akan menandatangani suatu penerangan pemerintah, apabila penerangan itu tidak disusun oleh Pak Natsir. Dan tidak mengherankan Soekarno menyerahkan pembentukan kabinet pada beliau pada tahun 1950. Ketika itu terjadi perundingan antara Republik Indonesia Serikat dengan Pemerintah Republik indonesia di Jogjakarta. Dengan lobi yang panjang di parlemen, maka konferensi memutuskan Indonesia kembali menjadi negara berdasarkan UUD 1945.
Dengan keputusan itu, Bung Karno menunjuk Pak Natsir untuk menyusn kabinet koalisi Partai Masyumi-PNI. Tapi untuk beberapa lamanya kabinet belum terbentuk. Pasalnya terjadi perdebatan sengit antara Masyumi dan PNI untuk menentukan siapa menduduki kursi apa. Sampai-sampai pak Natsir mengembalikan mandat tersebut ke Bung Karno. Presiden Soekarno sendiri menolak mandat yang diberikan Pak Natsir, dan mengatakan kepadanya ”Tinggalkan PNI!”
Maka pada Bulan September atau Oktober, terbentuklah sebuah kabinet dengan Perdana Menteri Pak Natsir, seorang Muslim Indonesia yang demikian dipercaya oleh seorang ”rival” sekalipun.
Hubungan antara Pak Natsir dan Bung Karno semakin meruncing, karena perbedaan ideologi, Pak Natsir yang terus concern dalam meyuarakan islam sebagai asas negara, ditantang habis-habisan oleh Bung Karno yang lebih berpaham ’sekuler’ yang ingin memisahkan antara agama dan negara. Bermula dengan peristiwa Cikini 30 november 1957, yakni usaha pembunuhan terhadap Bung Karno, Pak Natsir difitnah sebagai dalang peristiwa tersebut. Beliau selalu diintimidasi dan keselamatannya tidak terjaga. Akhirnya pada tahun 1957, Pak Natsir kembali ke tanah kelahirannya, Sumatera Barat. Disana, beliau bersama Burhanuddin Harahap dan Syafruddin Prawiranegara bergabung dengan gerakan PRRI. Peran beliau di PRRI sangat tampak jelas ketika sebagian dari pejuang tesebut ingin memisahkan diri dari NKRI, tetapi Pak Natsir bersama tokoh tua nasional lain yang tergabung tidak sepakat dengan gagasan itu. Beliau tetap ingin berjuang dalam batas wilayah NKRI. Dalam kata lain PRRI masih termasuk ke dalam NKRI, dan PRRI akan bubar dengan sendirinya jika pemerintahan berjala nsesuai dengan UUD1945.
Kediktatoran Bung Karno semakin menjadi setelah Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Melihat gelagat ini, Pak Natsir kembali berjuang memasang badan untuk mengembalikan Negara Republik Indonesia sesuai dengan cita-cita proklamasi dan UUD 1945. Untuk melaksanakan hal tersebut, PRRI mengeluarkan ultimatum pada tanggal 10 Februari 1958 ke pemerintah pussat dengan tuntutan, bubarkan kabinet Djuanda dalam tempo 5 X 24 jam dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden, Bung Hatta dan Hamengku Buwono IX ditunjuk sebagai formatur untuk menyusun kabinet baru, kabinet baru tersebut diberi kesempatan sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilu berikutnya, dan Presiden Soekarno/ Pejabat Presiden membatasi diri menurut konstitusi, namun apabila tuntutan itu tidak dipenuhi, maka rakyat tidak wajib taat lagi kepada pemerintah Republik Indonesia.
Sebagai jawaban ultimatum tersebut, Bung Karno malah mengirim tentara untuk membasmi para pejuang PRRI.
Pak Natsir menjalani hidup masuk keluar hutan selama bertahun-tahun. Hal ini dilakukan bukan takut terhadap tentara kiriman Bung Karno, tapi untuk menghindar terjadinya bentrokan yang diakibatkan oleh kediktatoran penguasa, dan kejadian ini juga dijadikan sebagai uzlah untuk mengingat Allah.

(bersambung)