PRINSIP PERTAMA
Sesungguhnya Islam adalah sistem yang komprehensif
dan menyentuh seluruh aspek kehidupan. Maka Islam adalah:
Negara dan tanah air, atau pemerintahan dan umat.
Islam adalah akhlak dan kekuatan, atau kasih sayang dan keadilan.
Islam adalah peradaban dan undang-undang, atau ilmu dan hukum
Islam adalah materi dan harta, atau usaha dan kekayaan.
Islam adalah jihad dan dakwah, atau tentara dan fikrah.
Islam adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih
Inilah pernyataan Imam Mu’assis tentang prinsip pertama dari prinsip-prinsip al-fahm. Kami akan menyampaikan sebagian argumentasi untuk menolak pernyataan-pernyataan jahat yang digembar-gemborkan oleh kaum sekuler dan non-agamis yang menuduh islam hanyalah nubuwah, bukan pemerintahan; islam mengandung kekerasan dan sadism karena menegakkan hukuman; islam turun untuk kaum, lingkungan, dan zaman tertentu; islam memisahkan manusia dari kehidupan; dan islam melakukan invasi terhadap wilayah orang lain.
Pernyataan singkat di atas dijadikan Imam Mu’assis sebagai penangkal tuduhan dan kebohongan tersebut dengan menjelaskan makna Islam yang orisinil dan benar sebagaimana dipahami dari kedua sumber utamanya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Kami akan menjelaskan pernyataan itu sebagai berikut
1. Islam adalah Negara dan tanah air atau pemerintahan dan umat
a. Islam adalah Negara dan tanah air
Makna daulah (Negara) secara politis adalah masyarakat yang teratur yang menempati negeri tertentu, tunduk kepada penguasa yang memerintah, serta memiliki wewenang khusus yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat lain yang sejenis.
Negara dan individu dihubungkan oleh sebuah ikatan yang mengharuskan setiap individu mencintai Negara tersebut dan tunduk kepada undang-undangnya. Begitu juga sebaliknya, Negara diwajibkan untuk menjaga jiwa, harta dan hak-hak mereka yang ditetapkan oleh hokum alam dan undang-undang positif.
Inilah definisi Negara menurut para pakar politik dan masyarakat modern pada akhir abad ke 20 M. atau di penghujung dasawarsa pertama abad ke 15 H.
Apabila definisi ini diaplikasikan pada islam maka islam merupakan Negara karena telah memenuhi unsur-unsur yang kami sebutkan di atas. Perlu ditambahkan bahwa hak-hak individu yang harus dijaga atau dijamin oleh Negara, yakni yang ditetapkan oleh hokum alam dan ditetapkan pula oeh perilaku sosial, kemudian diakui agama dan bukan oleh undang-undang positif, itu semua menjadi hak-hak manusia secara alami.
Kemudian kami menambahkan bahwa hak-hak yang ditetapkan oleh syariat islam yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tidak dalam undang-undang positif, merupakan justifikasi terhadap keterangan yang kami sampaikan dalam masalah ini.
Maka islam, dengan makna ini, merupakan konstruksi Negara yang sempurna yang akan menjalankan hak-hak dan kewajibannya sebagaimana ditunjukkan oleh teks-teks agama dan aplikasinya dapat dilihat dalam kehidupan Rasulullah, para sahabat, dan para tabiin dalam rentang waktu yang cukup lama.
Wathon (tanah air) adalah tempat yang dihuni sejumlah individu yang memiliki ikatan dan rasa kebangsaan dengannya. Tanah air, dalam kaitannya dengan umat islam, adalah setiap tempat yang di dalamnya terdapat orang-orang yang mengatakan: “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allh”, karena aqidah islam merupakan tanah air seorang muslim, bahkan juga menjadi kebangsaannya, sebagaiman sering diungkapkan oleh Imam Mu’assis.
b. Islam adalah pemerintahan dan umat
Hukumah (pemerintahan) adalah sistem manajemen Negara, penyelesaian berbagai persoalan umat manusia, pengkonsentrasian dan sistematisasi perjuangan serta penentu perilaku individu dan kelompok dalam Negara melalui undang-unang yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemegang pemerintahan dengan bantuan kekuatan material hokum.
Istilah “pemerintahan” dalam tema politik dalam kompilasi badan-badan hokum Negara, mencakup tiga kekuasaan, yaitu:
1. At-Tasyri’iyyah (Badan Legislatif)
2. Al-Tanfidziyyah (Badan Eksekutif)
3. Al-Qadha’iyyah (Badan Yudikatif).
Dalam konteks ini, islam adalah pemerintahan, namun undang-undang di dalamnya bukan buatan penguasa, melainkan wahyu dari Allah melalui Al-Qur’an dan Sunnah.
Tasyri’ (pembuatan undang-undang) dalam pemerintahan islam hanya terbatas pada hal-hal yang belum ada dalam teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tasyri’ ini disebut ijtihad, sebuah tema yang sebenarnya lebih tepat daripada tasri’ itu sendiri, karena pemegang tasyri’ hakiki hanyalah Allah swt.
Ulama umat islam berhak melakukan ijtihad kapan pun dan di mana pun tentang hal-hal baru yang terjadi di tengah kehidupan manusia ketika tidak ada teks (Al-Qur’an dan Sunnah) yang menjelaskannya. Semua hasil ijtihad boleh mereka ambil selama ijtihad tersebut memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syariat islam, ulama fiqih dan ushul-fiqih.
Ummah (umat) adalah kumpulan individu yang dihimpun oleh satu peradaban bersama yang disandarkan pada asal usul, bahasa, atau agama. Mereka disatukan oleh perekat sejarah, peninggalan historis, kemaslahatan bersama di bidang ekonomi, dan lainnya. Mereka hidup di satu wilayah dan bekerja berdasarkan kelestarian hubungan politis dalam bingkai Negara.
Orang-orang islam, dalam konteks ini, merupakan umat mengingat kesamaan agama menjadi perekat erkuat, kemudian masih ada perekat historis, peninggalan sosial, kemaslahatan bersama di bidang ekonomi, dan sebagainya.
Adapun tentang kesatuan asal usul, islam memiliki paradigm yang lebih komprehensif dan umum, yakni bahwa semua manusia berasal dari satu bapak, yaitu Nabi Adam dan Tuhan mereka hanya satu, yaitu Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Penguasa dan Maha Suci.
Adapun bahasa merupakan perekat local, sekalipun islam sendiri sangat menghargai bahasa Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai bahasa orang islam yang selalu digunakan dalam berbicara, sebagaimana sabda Rasulullah: “… ingatlah, sesungguhnya bahasa Arab adalah lisanku.”
Maka islam juga adalah pemerintahan dan umat dan dengan manhajnya akan mampu mengendalikan pemerintahan dan membimbing umat untuk membuka jalannya menuju kemajuan, peradaban, dan perkembangan.
2. Islam adalah akhlak dan kekuatan atau kasih saying dan keadilan
a. Islam adalah Akhlak dan Kekuatan
Akhlak, menurut terma para sosiolog, akan mengalami perubahan dan dinamika seiring perubahan zaman, karena akhlak merupakan hasil pengalaman individu. Tetapi dalam islam, akhlak bersifat permanen dan tidak akan berubah karena perubahan zaman dan tempat, khususnya tentang keutamaan-keutamaan yang ditetapkan agama atau kejelekan-kejelekan yang telah dihaaramkannya. Dari sudut ini, akhlak islam merupakan produk pengalaman seseorang, akan tetapi ketetapan, nilai, dan etika dari agama.
Islam adalah Akhlaq
Akhlaq dalam islam adalah sekumpulan prinsip dan nilai yang mengatur prilaku seorang muslim dan dibatasi oleh wahyu untuk mengatur kehidupan manusia. Maka ditetapkanlah batasan-batasan agar tujuan diciptakannya umat manusia di muka bumi ini dapat tercapai, yaitu beribadah kepada Allah yang akan menghantarkan kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Akhlak Rasulullah, beliau adalah figur bagi seluruh umat islam, adalah Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan melalui lisan Ummul Mukminin, Siti Aisyah, ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, kemudian dia menjawab, “Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an.”
Akhlak islam secara keseluruhan terdiri atas tiga pilar:
Pertama, tanggung jawab pribadi yang tercermin dalam firman Allah,
“Setiap diri tergadaikan dengan perbuatannya.” (QS. Al-Mudatstsir [74]: 38)
Kedua, keadilan da ihsan yang tergambarkan dalam firman Allah,
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan ihsan.” (QS. An-Nahl [16]: 90)
Ketiga, melarang dari yang keji, mungkar, dan permusuhan, seperti disebut dalam firman Allah,
“…Mencegah perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.” (QS. An-Nahl [16]: 90)
Ketiga pilar inilah yang telah menghantarkan umat islam menjadi sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia dan yang telah melahirkan, melalui manhaj mereka, solusi bagi berbagai problem kehidupan manusia.
Islam adalah Kekuatan
Kekuatan yang dimaksud adalah kemampuan yang berdaya guna, yaitu kekuatan material. Terkadang kekuatan bermakna kekuatan hati yang memotivasi perbuatan tertentu. Motivasi tersebut bisa berupa motivasi instrinsik maupun motivasi ekstrinsik, sebagaimana firman Allah,
“Seandainya saya mempunyai kekuatan untuk menolakmu…” (QS. Hud [15]: 80)
Dan firman Allah,
“Maka bantukah aku dengan kekuatan…” (QS. Al-Kahfi [18]: 95)
Terkadang kekuatan tersebut berupa kekuatan individu berdasarkan pengalaman yang melingkupinya dan pengalaman social yang mendorong pada perbuatan social.
Islam adalah kekuatan dengan berbagai maknanya.
Maka islam adalah kekuatan metafisik yang tercermin dalam keimanan yang mendorong perbuatan. Islam juga kekuatan material yang tergambar dalam perjuangan di jalan Allah. Islam juga kekuatan individu sebagai buah dari berbagai eksperimen yang menyebabkan seorang muslim berpegang pada akhlak islam dalam segala persoalan. Islam juga kekuatan social yang mendorong seluruh individu untuk melakukan kebaikan, mengapresiasi dan mentransformasikannya kepada seluruh umat manusia.
Apabila islam adalah akhlak, sebagaimana dijelaskan di depan, maka islam membutuhkan kekuatan yang menopang dan mendukung akhlak tersebut dalam kehidupan manusia. Akhlak Al-Qur’an, sebagai akhlak seorang muslim, juga membutuhkan kekuatan yang menopang, memperkuat, dan mengangkat nilai-nilainya serta mewajibkan seluruh manusia untuk memeluknya, karena islam merupakan kebenaran yang berasal dari Allah untuk kebaikan umat manusia di dunia dan akhirat. Ini semua termasuk makna kesempurnaan islam.
Jadi, akhlak dan kekuatan merupakan keharusan adanya hingga kehidupan manusia sejahtera.
b. Islam adalah Rahmat (kasih Sayang) dan Keadilan
Islam adalah Rahmat (Kasih Sayang)
Islam adalah rahmat, dalam arti islam mengandung kelemah-lembutan yang mendorong perbuatan ihsan (berlaku baik) kepada orang yang membutuhkan kasih saying. Rahmat Allah adalah ihsan, tetapi tidak bisa disifati dengan riqah (lemah lmbut). Allah telah memfokuskan sikap lemah lembut pada watak manusia dan mengistimewakannya dengan ihsan. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
“Sesungguhnya rahmat dari Allah berarti pemberian nikmat dan berlakuan baik, sedangkan rahmat dari manusia berupa sikap lemah-lembut.”
Islam adalah rahmat, dalam arti islam merupakan agama yang memerintahkan danmewajibkan sikap lemah-lembut kepada para pemeluknya. Yakni bersikap lemah lembut dalam memperlakukan sesama manusia serta berlaku baik kepada yang berhak mendapatkannya. Rahmat yang dimaksudkan adalah kasih sayang yang bertujuan untuk membawa umat manusia pada hal-hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat dengan kelemahlembutan itu. Apabila dia menyimpang dari kebenaran, kita seharusnya melindunginya dengan memberikan semangat dan menjelaskan akibat-akibat perbuatannya dengan sikap lemah-lembut. Apabila dia menentang, seharusnya kita melindunginya dengan menjelaskan efek penentangan dan akibatnya yang besar. Sesunguhnya seseorang yang menentang kebenaran pada dasarnya telah menentang sifat kemanusiaannya sendiri, masyarakatnya, masa kini, dan masa depan serta apa yang terkandung di dalamnya. Dia, dengan penentangannya, juga akan mengundang bahaya, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain dan begitu juga orang lain akan berbuat sesuatu yang membahayakannya.
Apabila dia sudah berada dalam kebenaran, akan tetapi tidak bersabar dalam menetapinya dan dalam berpegang kepada kebenaran tersebut maka kita harus menjelaskan kepadanya bahwa berpegang pada kebenaran akan disempurnakan dengan sikap saling berwasiat agar menetapi kebenaran dan bersabar memeganginya, karena kekuatan seorang mukmin pada dasarnya adalah beramal saleh, saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran. Demikianlah, sehingga umat manusia akan konsisten apada kebenaran dan bersikap sabar untuk melaksanakannya.
Dengan makna di atas, kita menemukan islam sebagai agama kasih saying, lemah lembut, dan ihsan kepada manusia dengan cara menunjuki manusia kepada itu semua.
Islam dalah Keadilan yang Disertai Kasih Sayang
Keadilan bermakna persamaan antara sesame manusia dalam segala urusan, dengan cara memperlakukan sama antara mereka.
Adil ada dua macam
1. Adil secara mutlak, yang mendorong kebaikan akal, seperti berbuat baik kepada orang yang telah berbuat baik kepadamu dan menghindari menyakiti orang yang juga telah menghindari dari menyakitimu.
2. Keadilan yang ditetapkan oleh Syara’, seperti qishash dan urusyul jinayat.
Maksud pernyataan ‘Islam merupakan keadilan’ adalah bahwa islam memperlakukan sama (antara sesame manusia) dalam hal kebaikan dibalas dengan kebaikan dan kejahatan dibalas kejahatan. Maka seorang yang berbuat baik, menurut keadilan, harus mendapatkan kebaikan dan orang yang berbuat jahat harus mendapat perlakuan jahat.
Seandainya islam hanya rahmat saja tanpa keadilan, hal itu akan menimbulkan keinginan orang jahat (untuk melakukan kejahatan lagi) dan kemalasan orang yang berbuat baik (untuk berbuat baik) dan kehidupan manusia tidak akan dinamis dalam memperbaiki kehidupan dunia dan akhirat mereka.
Inilah indicator komprehensivitas islam dan eksistensinya sebagai system yang menyentuh seluruh kehidupan manusia. Dia adalah rahmat sekaligus keadilan dan dengan keduanyalah kehidupan manusia akan tegak. Ini juga termasuk makna integralitas islam, dalam arti sebagian tidak bisa mengganti yang sebagian, atau islam tidak lagi memerlukan system dan teori-teori lain, karena dia sendiri telah bersifat komprehensif dan integral.
Karena sifat-sifatnya yang komprehensif seperti inilah, Allah menjadikan Islam sebagai agama paripurna dan sempurna serta meridhainya sebagai agama seluruh umat manusia. Berpegang pada manhaj islam akan benar-benar menjadi solusi berbagai masalah masyarakat manusia.
3. Islam adalah Peradaban dan Undang-Undang atau Ilmu dan Hukum
a. Islam adalah Peradaban dan Undang-Undang
Islam adalah Peradaban
Artinya ia merupakan prinsip-prinsip, system, dan manhaj yang ditemukan oleh seorang muslim dengan kejeliannya dan dijumpai oleh bashirah-nya ketika hatinya terbuka oleh hidayah Allah.
Apabila sebuah peradaban, sebagaimana pandangan para sosiolog, adalah lingkungan dengan segala produk material dan immaterial-nya mengandung berbagai perilaku lahir dan batin yang didapatkan dengan cara-cara tertentu dan terdiri dari berbagai ilmu, keyakinan, seni, norma, nilai, undang-undang, dan adat-istiadat yang bersifat turun temurun dari generasi ke generasi, maka islam berdsarkan makna ersebut, merupakan peradaban yang mengandung semuanya. Lebih dari itu, kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam islam benar-benar steril dari khurafat dan prasangka, semua tata nilainya pasti baik dan undang-undangnya bukan produk manusia, melainkan syariat, manhaj, dan tatanan Allah.
Sesungguhnya islam sangat kaya dengan unsur-unsur peradaban yan dimaksud oleh para sosiolog, bahkan memiliki kelebihan dalam setiap unsurnya, yaitu setiap unsurnya tidak dapat dimanipulasi oleh manusia, tidak ada ruang untuk bisikan setan, juga bukan dihasilkan oleh inovasidan konfrontasi. Sebaliknya, unsur-unsur tersebut pasti akan menciptakan stabilitas social dan membuka berbagai kebaikan serta menghapus segala debu kekejian, kefasikan, dan kriminalitas.
Islam adalah undang-undang
Berarti islam merupakan kumpulan prinsip-prinsip yang menetapkan dan membimbing perilaku sosial. Apabila undang-undang, menurut para pakar politik dan sosial, menjadi puncak tatanan sosial untuk perilaku manusia, dalam arti membatasi dengan jelas apa yang harus dilakukan dan dihindari oleh individu dan menentukan dengan jelas berbagai hukuman yang akan dijatuhkan atas orang yang melanggarnya, maka islam dapat dianggap sebagai undang-undang yang paling utama dari sisi kemampuan menetapkan dan membimbing perilaku sosial, karena islam memberikan batasan dan bimbingan tidak hanya karena takut hukuman bagi orang yang melanggarnya, akan tetapi menyempurnakannya dengan kesadaran akan tanggung jawab dan dengan keyakinan bahwa Allah Maha Mengawasi dan Menghitung amal. Juga dengan menanamkan keyakinan bahwa apabila seseorang bisa mengabaikan undang-undang maka sesungguhnya dia tidak bisa lepas dari pengawasan Tuhan semesta alam dalam kondisi apapun.
Sesungguhnya undang-undang dalam islam member peluang terbentuknya sebuah peradaban sebagaimana memberi pengarahan kepada masyarakat dan dengan itu terciptalah kehidupan islami.
Peradaban saja belum cukup, ia masih membutuhkan undang-undang yang mengaturnya. Begitu juga, undang-undang saja belum cukup, ia perlu didukung oleh back ground peradaban yang menopangnya.
Demikianlah saya menjelaskan bahwa islam adalah peradaban, sekaligus undang-undang.
b. Islam adalah Ilmu dan Peradilan
Islam adalah Ilmu
Ilmu ada dua, teoritis dan praktis. Ilmu teoritis apabila sudah diketahui maka sudah dianggap sempurna, seperti ilmu tentang alam semesta. Sedang ilmu praktis tidak akan sempurna sebelum diamalkan, seperti ilmu tentang ibadah.
Dari segi lainnya, ilmu juga dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu aqli dan ilmu sam’i. ilmu aqli adalah ilmu yang didapatkan dengan akal, sedangkan ilmu sam’i didapat melalui wahyu. Islam adalah ilmu dengan keseluruhan maknanya.
Apabila ilmu, menurut para sosiolog, merupakan sekumpulan pengetahuan, prinsip, dan generalisasi yang berhubungan dengan realitas lahir dan berdiri berdasarkN observasi dan eksperimentasi serta tidak ditambah dengan tendensi individu atau pendapat-pendapat pribad. Apabila ssatuan-satuan ilmu memiliki urutan vertical: ilmu logika, matematika, ilmu gerak, ilmu mekanika, ilmu-ilmu pasti, ilmu falak, geologi, kimia, psikologi, dan sosiologi. Apabila makna ilmu dan satuan-satuannya seperti itu, maka islam adalah ilmu, dalam arti islam merupakan sekumpulan pengetahuan dan prinsip-prinsip umum yang berhubungan dengan kehidupan. Islam menyeru untuk belajar, mendalami seluruh ilmu dan memandang ilmu sebagai alat untuk memberdayakan manusia dalam mengambil manfaat dari apa saja yang telah ditundukkna Allah untuknya dalam hidup ini. Islam juga menuntut seorang muslim untuk mempelajari ilmu seraya menunjukkan media yang disyariatkan menuju ilmu tersebut. Islam justru melarang setiap Muslim meninggalkan mencari ilmu sampai bertemu Allah.
Islam, jelas merupakan ilmu menurut makna ini, yakni ilmu tentang sesuatu yang memperbaiki manusia dan yang merusak mereka, sesuatu yang memperbaiki kehidupan dunia dan yang merusaknya serta ilmu tentang prinsip-prinsip dan teori-teori yang dianggap paling utama dalam kehidupan manusia.
Demikianlah kita menemukan islam sebagai ilmu pengetahuan dengan keseluruhan makna tersebut.
Islam sebagai Hukum (Qadha)
Hukum adalah pemutus perkara, baik secara verbal maupun perbuatan.
Kedua hokum tersebut masing-masing dibagi menjadi dua:
1. Qadha’ Ilahi (hokum ilahi), yaitu perintah Tuhan, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya: “Tuhanmu memerintahkan agar kamu tidak menyembah kecuali kepada-Nya.” (QS. AL-Isra’ [17]: 23)
2. Qadha Basyari (Hukum manusia), seperti keputusan hokum
Islam adalah hokum, dalam arti islam dan prinsip-prinsip serta tata nilai yang dikandungnya mampu memutuskan berbagai perkara, baik perkara sosial, politis, ekonomi, pemikiran, maupun peradaban, bahkan segala perkara yang berkaitan dengan kehidupan manusia dengan segala aspeknya.
Islam adalah hukum yang terbangun atas dasar ilmu pengetahuan.
Islam adalah ilmu dan hukum dan masing-masing dari keduanya tidak terpisahkan dari yang lain, sebagaimana telah kami jelaskan. Maka tak ada keputusan hukum tanpa ilmu dan tidak ada ilmu tanpa didukung hukum sehingga semua perkara dapat diputuskan secara tematis dan tanggung jawab.
Hal ini juga mendukung sistematisasi dan komprehensivitas islam dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia. Ini menegaskan pernyataan Imam Mu’assis: “Sesungguhnya islam adalah sistem komprehensif yang menyentuh seluruh aspek kehidupan.”
4. Islam adalah Materi dan Harta atau Usaha dan Kekayaan
a. Islam adalah Materi dan Harta
Islam adalah Materi
Materi adalah segala sesuatu yang menjadi bahan bagi sesuatu yang lain dan segala zat yang memiliki masa dan volume serta membutuhkan ruang.
Materi sesuatu berarti pokok-pokok dan unsur-unsur sesuatu tersrbut, baik yang bersifat indriawi maupun maknawi, seperti materi kayu dan materi pembahasan ilmiah.
Materi perundang-undangan berarti perangkat yang memuat berbagai hokum.
Kemudian yang dimaksud dengan islam sebagai materi adalah bahwa islam bukan hanya memuat makna-makna yang maknawi saja, akan tetapi juga memuat hal-hal material, karena kehidupan manusia tidak akan baik dan stabil tanpa keduanya, bahkan kehidupan tidak aka nada tanpa keduanya dan islammerupakan agama kehidupan.
Apabila materi berupa wujud, bukan bersifat aqli, maka islam mengandung hal-hal yang bersifat matrial dan aqliah sekaligus. Hal itu karena kehidupan manusia tidak akan tegak tanpa keduanya dan islam sendiri merupakan agama kehidupan, sebagaimana telah kami jelaskan atau bahkan menjadi manhaj hidup paling utama.
Apabila materi berupa pokok-pokok dan unsur-unsur sesuatu, baik yan indriawi maupun maknawi, maka islam secara global terdiri dari unsur-unsur kehidupan manusia dan pokok-pokoknya. Dalam arti bahwa kehidupan tidak terlepas dari islam sehingga kehidupan ini memberi manfaat kepada manusia, berada di atas rel yang benar hinga diridhai Allah dan manusia mendapat balasan yang terbaik.
Apabila kehidupan manusia berdiri atas materi dan jiwa maka islam tidak hanya bersifat spiritual saja, akan tetapi juga memiliki makna kehidupan material manusia serta mengarahkannya dengan sebaik-baiknya.
Islam sebagai Harta (Tsarwah)
Tsarwah, secara etimologis bermakna harta atau manusia yang banyak. Makna ini terdapat dalam sebuah hadits: “Allah tidak mengutus seorang nabi setelah Luth kecuali dari kalangan kaumnyayang memiliki banyak harta (kaya).”
Tsarwah, dalam ilmu ekonomi, adalah harta yang menerima kepemilikannya (bisa dimiliki) dan mempunyai nilai yang terbatas kuantitasnya.
Apabila dikatakan tsarwah qaumiyyah, maka terma tersebut bermakna sejumlah kekuatan yang dihasilkan dalam Negara tersebut. Makna ini sebaaimana dijelaskan oleh Majma Lughah Al-Arabiyyah (Lembaga Bahasa Arab di Mesir).
Dalam ilmu ekonomi disebutkan bahwa harta terbagi menjadi dua:
1. Harta personal, yaitu berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan, baik berupa mata uang maupun hak-hak atas orang lain
2. Harta sosial, yaitu berbagai sumber daya alam dan nilai uang yang dimiliki bersama, seperti fasilitas umum, jalan, dan sebagainya.
Dalam sebagian makna, harta terkadang bersifat material, seperti modal, namun harta tersebut bias dimiliki untuk memenuhi kebutuhan ketika dialokasikan pada daya produktivitas sesuatu yang memilki nilai ekonomis.
Islam adalah harta, berarti islam adalah agama yang mampu mewujudkan pemenuhan kebutuhan individu dan sosial, baik yang bersifat material, maknawiyah, jasadiyah, spiritual, maupun intelektual. Maka islam merupakan harta yang tidak tertandingi oleh harta manapun dan islam mewajibkan memelihara, mengembangkan, dan mengalokasikan harta material tersebut untuk pelayanan individu dan sosial, baik berasal dari harta individu maupun sosial.
Barangkali dalam teori harta yang komprehensif ini terdapat sesuatu yang mampu menjawab tuduhan bahwa agama-agama pada umumnya dan khususnya Islam berdiri atas dasar isolasi dari hal-hal yang bersifat material. Pemikiran tersebut jelas keliru. Meskipun misalnya bisa mengenai satu agama atau mazhab tertentu, maka tidak akan bisa mengenai Islam, karena Islam adalah sistem yang menyentuh seluruh aspek kehidupan. Tidak diragukan lagi bahwa termasuk aspek kehidupan adalah hal-hal yang bersifat material, harta, sumber daya alam, dan energi. Maka Islam harus mencakup semuanya serta mengatur dan mengarahkan pada tujuan dan media pencapaiannya.
Saya tidak menganggap prasangka terhadap sebagian agama dengan sikap menjauhkan diri dari kenikmatan dunia melebihi prasangka yang tidak memiliki dalil. Hal ini karena agama-agama samawi yang datang dari Allah tidak melalaikan sisi material kehidupan. Bagaimana dia melalaikan, sedang kehidupan sendiri tidak akan berdiri tanpanya. Selanjutnya tidak mungkin bisa dibayangkan bahwa suatu agama menyia-nyiakan harta.
Islam adalah materi dan harta, dalam arti Islam menghargai timbangan yang benar bagi segala sesuatu yang bersifat material dalam hidup manusia dan memberdayakan harta dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan kehidupan manusia.
b. Islam adalah Usaha dan Kekayaan
Islam adalah Usaha
Usaha adalah sesuatu yang ditekuni oleh manusia, menarik kemanfaatan dan menghasilkan bagian, seperti usaha untuk memperoleh harta. Sesekali ada usaha yang dianggap orang menarik kemanfaatan, tetapi kemudian dapat menarik bahaya juga. Di dalam hadits, ketika Rasulullah ditanya,
“Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri.”
Dalam riwayat yang lain beliau mengatakan,
“Sesungguhnya sebaik-baiknya yang dimakan seseorang datang dari hasil pekerjaannya sendiri dan sesungguhnya anaknya adalah dari pekerjaannya juga.”
Usaha di sini mencakup usaha ukhrawi yang ditekuni oleh manusia. Para pakar ekonomi juga memiliki definisi tentang usaha, yaitu harta yang diperoleh seseorang melalui bekerja tanpa bantuan modal.
Islam adalah usaha, berarti islam memerintahkan manusia untuk bekerja dan berusaha dan menekankan agar tidak hidup menjadi beban orang lain. Hal itu karena islam menghormati pekerjaan dan mengangkat nilainya dan nilai orang yang melakukannya, juga menegaskan bahwa para nabi pun adalah para pekerja yang memiliki usaha.
Islam adalah usaha, berarti bahwa dalam memeluk dan menekuni manhaj dan sistem islam, sama dengan menggali kemanfaatan bagi umat manusia di dunia dan akhirat. Islam tidak memberi toleransi kepada seseorang untuk berpangku tangan dari pekerjaan dan usaha dengan menunggu hujan emas dan perak dari langit, sebagaimana terdapat dalam kata mutiara dari Umar bin Kaththab. Menurut islam, setiap manusia diwajibkan bekerja, bertaqwa kepada Allah sesuai ilmunya, memperbaiki pekerjaannya, mencari bekal yang memberikan manfaat kepadanya di dunia dan akhirat. Hal ini juga menegaskan bahwa islam merupakan sistem yang menyentuh seluruh aspek kehidupan.
Islam adalah Kekayaan
Adapun islam disebut kekayaan, sebab kekayaan memiliki tiga makna, yaitu.
1) Kaya, tidak membutuhkan segala sesuatu. Sifat ini hanya milik Allah. Dia Maha Kaya dengan makni ini, bahkan hanya Dia sendiri yang memiliki sifat kaya seperti ini.
2) Kaya, tidak membutuhkan sebagiannya, sebagaiman yang ditunjuk dalam firman-Nya,
“Dan Dia menemukan dirimu (Muhammad) papa, kemudian Dia membuatmu kaya.” (QS. Dhuha[93]: 8”
Termasuk juga sabda Rasulullah,
“Kekayaan yang sesungguhnya adalah kaya hati,” yakni tidak membutuhkan sebagian kebutuhan
3) Kaya dalam arti banyaknya teknik (cara) yang dimiliki manusia.
Menurut makna di atas, islam adalah kekayaan, baik dalam arti konteks usaha sebagaiman penjelasan terdahulu maupun dala mkonteks materi dan harta. Semuanya tercakup dalam komprehensivitas islam, bahkan dapat ditegaskan bahwa islam secara detail mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Segala tuduhan yang ditujukan kepada islam yang menyelisihi makna itu semua, hanyalah tuduhan yang dilakukan oleh orang-orang yang iri, yang hendak mengaburkan manhaj dan system islam, tuduhan yang tidak didasari dalil, baik dalil aqli maupun dalil naqli, dan tidak ada sandaran historis tentang perilaku kehidupan islami dalam kurun waktu yang relative anjang, yang islam menghidupkan seluruh aspek kehidupan dengan manhaj dan sistem Allah.
Termasuk kelemahan tuduhan-tuduhan keji ini adalah dia hanyalah tuduhan semata, mengingat hal ini selamanya memerlukan dalil yang belum pernah ada di masa lalu dan tidak akan mungkin ada, baik di masa sekarang, maupun akan dating, selama islam masih tetap islam.
5. Islam adalah Jihad dan Dakwah atau Tentara dan Fikrah
a. Islam adalah Jihad dan Dakwah
Jihad dan mujahadah adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk menahan musuh. Jihad dibagi menjadi 3 macam:
1. Memerangi musuh yang tanpak
2. Memerangi musuh yan tidak tampak, yaitu setan
3. Memerangi hawa nafsu
Semua bentuk jihad di atas tercakup dalam firman Allah,
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
Dalam firmannya,
“Dan berjihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu di jalan Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 41)
Rasulullah juga pernah bersabda,
“Perangilah hawa nafsumu sebagaimana kamu memerangi musuhmu.”
Islam adalah jihad
Berarti islam memerangi setan dan hawa nafsu yang senantiasa menyuruh pada kejelekan, juga memerangi semua musuh islam.
Jihad, dengan ketiga makna di atas, berlangsung sampai hari kiamat. Artinya tidak akan pernah gugur selamanya sampai terjadinya kiamat, karena Allah telah memerintahkannya sebagaimana dijelaskan oleh ayat-ayat di atas dan karena islam merupakan agama kebenaran dan pasti selalu berhadapan dengan musuh-musuh kebenaran kapan pun dan di mana pun. Tidak ada cara lain menahan musuh-musuh ini kecuali dengan jihad. Kmai telah menjelaskan panjang lebar tentang jihad dalam buku kami Fiqhud-Da’wah ila Allah. Maka mereka yang ingin mendalami item-itemnya hendaklah membaca buku tersebut.
Apabila umat islam berpangku tangan dari jihad dengan ketiga pola di atas maka mereka semua telah berdosa dan berbuat maksiat kepada Allah, karena Dia telah memerintahkan jihad. Mereka telah lemah dan kerdil, sementara musuh telah berobsesi umtuk menyambar mereka dari berbagai arah, sebagaimana fenomena sekarang. Kelumpuhan yang dialami dunia islam tidak memiliki sebab yang lebih penting daripada meninggalkan jihad di jalan Allah dan menyia-nyiakan kewajiban tersebut, yang sebenarnya member motivasi pada ilmu, amal, dan kesabaran.
Islam adalah Dakwah
Artinya, islam adalah ajakan kepada Allah atau ke jalan yang haq dan ibadah kepada Allah satu-satu-Nya sesuai dengan apa yang telah disyariatkan. Islam juga merupakan seruan kepada kebaikan dan hidayah, melakukan yang ma’ruf dan menghentikan segala kemungkaran.
Islam mempekerjakan setiap muslim, putra dan putrid untuk menyeru kepada Allah. Selama seorang da’i memiliki pengetahuan terhadap apa yang diserukannya maka dakwah hukumnya wajib baginya. Hal ini dapat dipahami melalui firman Allah yang ditujukan kepada nabi-Nya,
“katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, yaitu menyeru pada (agama) Allah berdasarkan ilmu (bashirah).” (QS. Yusuf [12]: 108).
Ayat ini mewajibkan kepada para pengikut Nabi Muhammad, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menyeru kepada Allah. Apabila dia tidak melakukannya maka dia tidak mengambil jalan Rasulullah sebagai jalannya.
Jihad itu sendiri, dengan ketiga pengertiannya, adalah aktivitas dakwah. Jihadun nafsi untuk membersihkan diri dari keinginan hawa nafsu. Bersikap konsisten pada kebenaran dan perintah Allah adalah dakwah (seruan) ke jalan Allah. Allah berfirman,
“Adapun orang-orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan mencegah dirinya dari hawa nafsu, maka surgaah tempatnya.” (QS. An-Nasi’at [79]: 40)
Sedangkan jihad melawan setan, yan menjadi musuh setiap manusia, merupakan dakwah yang pokok, Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam islam secara kaffah dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya di bagimu adalah musuh yang nyata.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
Kemudian jihad menghadapi musuh juga merupakan seruan ke jalan Allah, karena musuh di sini adalah musuh kebenaran, musuh Allah, musuh islam, dan kaum muslimin. Allah berfirman,
“sesungguhnya orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian tidak ragu lagi dan mau berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah, mereka adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat [49]: 15)
Jihad melawan musuh mengandung makna dakwah kepada Islam, karena dia memiliki apa yang dimiliki umat islam dan berkewajiban apa yang diwajibkan atas umat islam. Barangsiapa menolak, apabila ia dari kalangan ahli kitab mka ia dibiarkan dan tidak dipaksa memeluk agama (islam) dengan kewajiban membayar jizyah (upeti) bila dia hidup di bawah naungan Negara islam. Apabila dia membangkang maka diperangi setelah diberi peringatan terlebih dahulu. Apabila dia bukan dari golongan ahli kitab maka diberi peringatan terlebih dahulu, jika membangkang, diperangi. Pemberian peringatan, dalam kedua kondisi tersebut, tiada lain karena islam tidak akan menipu seseorang, tidak akan menikam dari belakang dan mengkhianati serta tidak akan memaksa seseorang untuk masuk ke dalamnya.
b. Islam adalah Tentara dan Fikrah
Islam adalah Tentara
Tentara, menurut bahasa modern, bermakna kekuatan darat yang dipersenjatai yang tunduk kepada peraturan. Kemudian “tentara” mencakup kekuatan udara dan laut.
Umar bin Kaththab adalah orang pertama yang mendirikan kantor dan peraturan bagi tentara di dunia islam. Sedangkan di masa Nabi, tentara mencakup setiap orang islam yang mampu berperang di jalan Allah. Oleh karena itu, islam dan seluruh individu yang memeluknya, berperan sebagai tentara yang memiliki semua fasilitas tentara dan spesialisasinya serta menghimpun seluruh individu yang mampu berperang namun islam melewatkan orang-orang yang memang mempunyai uzur.
Hal itu berarti bahwa islam adalah kekuatan, karena tentara adalah kkuatan. Akan tetapi islam menjadikan kekuatan tersebut sebagai kekuatan bekerja untuk kebenaran dan bukan kekuatan permusuhan atau dominasi atau ekspansi wilayah atas orang lan. Islam adalah kekuatan yang menjaga manusia dari dirinya dan setan, dan musuhnya yang berbuat aniaya kepadanya.
Di dalam islam, rekruitmen anggota tentara tidak dilakukan dengan paksaan kecuali dalam kondisi darurat, karena jihad di jalan Allah merupakan ibadah untuk mendekatkan manusia kepada Tuhannya dan agar kalimat Allah tetap menjadi yang tertinggi dengan berorientasi pada pahala di sisi-Nya. Kecuali bila kondisi darurat, islam memaksa seluruh orang yang mampu untuk berperang dengan perintah seorang penguasa muslim.
Sesungguhnya islam, dengan makna ini, adalah tentara yang kuat yang akan mampu menjaga prinip dan nilai-nilai akhlak utama yang dibawa islam, menyebarluaskannya kepada seluruh umat manusia, memrangi kejahatan, kebatilan, dan kemungkaran, karena semua itu adalah bencana yang membahayakan dan merendahkan masyarakat.
Tentara islam berdiri dengannya, dan dengan itu memberi peluang kepada manusia untuk mendapatkan kehidupan mulia yang sesuai dengan martabatnya dengan mengikuti cara yang telah dirancangkan oleh islam untuk segala urusan kehidupan dan di dunia dan akhirat.
Tentara Islam juga membentengi umat Islam dari musuh-musuhnya yang serakah dan berbuat aniaya, baik musuh tersebut bersifat fisik yang menjelajahi bumi atau bersifat nonfisik yang mencakup manhaj dan sistem, karena semua musuh ini harus ditahan oleh tentara Islam.
Islam adalah Fikrah
Al-fikr dan al-fikrah menurut bahasa berarti menggunakan daya nalar dalam suatu perkara.
Al-fikrah juga berarti kekuatan menggerakkan pengetahuan untuk sampai kepada yang diketahui.
Al-fikr adalah fenomena rasional yang dihasilkan dari aktivitas berfikir berdasarkan usaha, analisis, dan generalisasi. Pemikiran berbeda dari perasaan, karena berpikir merupakan aktivitas. Berpikir juga tidak sama dengan ‘berkehendak’ yang cenderung menguatkan sesuatu berdasarkan hukum-hukum penilaian.
Islam adalah fikrah yang tegak di atas tauhid, yakni pengesaan Allah swt. sebagai –satu-satunya Tuhan. Ia juga tegak di atas keimanan kepada-Nya, kepada para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, dan kepada qadar-Nya yang baik dan buruk.
Islam adalah fikrah yang mewajibkan pemeluknya untuk bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah saja dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika mampu.
Islam adalah fikrah yang mewajibkan pemeluknya berlaku adil, ihsan, menyuruh yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, jihad fi sabilillah agar kalimat Allah tinggi, dan mengambil manhaj Islam dalam segala perkara kehidupannya.
Islam adalah fikrah, dalam arti ia merupakan manhaj yang mencakup segala aspek kehidupan manusia –seperti telah kami jelaskan. Fikrah ini wajib disampaikan kepada segenap manusia di setiap waktu dan tempat. Untuk bisa menyampaikannya maka merupakan keharusan adanya dakwah, amal, aturan, dan jihad dengan macamnya yang tiga, seperti telah dijelaskan pula.
Artinya, setiap potensi individu harus difungsikan, demikian pula kekuatan “tentara” pengawal fikrah ini. Dengan satu tujuan yaitu menyeru manusia agar menghamba kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya, yang sesuai dengan syariat wakyu yang disampaikan kepada penutup para nabi, Muhammad saw.
6. Islam adalah Aqidah yang Lurus dan Ibadah yang Benar
a. Islam adalah Aqidah yang Lurus
Aqidah adalah keyakinan, yaitu prinsip yang dipegangi oleh manusia dan diimani kebenarannya.
Islam adalah aqidah, dalam arti Islam merupakan prinsip yang mencakup unit-unit pokok yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Seorang Muslim wajib mengimaminya, meyakini kebenarannya, dan mati di jalan-Nya.
Fondasi aqidah islamiah adalah keyakinan akan adanya Allah, menyifati-Nya dengan sifat-sifat-Nya, menyebut-Nya dengan asma-asma-Nya, dan mengesakan-Nya sebagai ilah dan rabb. Tauhid ini akhirnya bercabang menjadi beberapa bagian, yaitu:
- Beriman kepada para malaikat, kitab-kitab, dan rasul-rasul. Artinya meyakini eksistensi mereka dan bahwa mereka dari sisi Allah serta mengemban berbagai tugas yang telah dan akan mereka lakukan, juga dengan meyakini akan kebenaran dan amanah mereka. Serta meyakini pula bahwa mereka diutus oleh Allah untuk kebaikan manusia dalam hidup di dunia dan akhirat.
- Beriman kepada hari akhir dan segala peristiwa di dalamnya.
- Beriman kepada qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.
- Mengucapkan dua kalimat syahadah: ‘Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah” dan mengamalkan kandungannya serta keharusan mengamalkan rukun-rukun Islam lain, seperti shalat, puasa, dan sebagainya.
- Melaksanakan keadilan dan ihsan.
- Melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.
- Melaksanakan jihad fi sabilillah.
- Konsisten pada manhaj dan sistem Islam dalam kehidupan.
Islam adalah aqidah yang mengandung itu semua, yaitu keyakinan yang benar semua isinya. Tanda kebenaran aqidah ini adalah bahwa dia datang dari Allah dan relevan untuk segala masa dan tempat, tidak ada kebatilan datang dari depan dan belakangnya, dan bahwa orang yang berpegang kepadanya berarti telah mewujudkan kebaikan hidupnya di dunia dan akhirat, sekalipun zaman berlalu lama, tempat telah berbeda, dan perubahan-perubahan telah terjadi.
Islam adalah aqidah yang benar yang telah teruji kebenarannya dalam sejarah. Sekiranya umat Islam beriman kepadanya, mengamalkan kandungannya dalam berbagai perkembangan sejarah tanpa melalaikan atau merusak sedikitpun unsur-unsurnya maka mereka telah menjadi besar, mendapat kemenangan, dan memenuhi dunia dengan keadilan dan kesentosaan.
b. Islam adalah Ibadah yang Benar
Islam adalah ibadah, berarti Islam berdiri atas dasar ibadah kepada Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya sesuai dengan apa yang telah disyariatkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw.
Ibadah adalah berbagai bentuk perbuatan dan perilaku, baik mengerjakan maupun meninggalkan. Pada dasarnya, ibadah merupakan ungkapan keyakinan yang ada di hati seorang Muslim. Ibadah dengan maknanya yang umum, di samping berupa kewajiban-kewajiban, juga mencakup berbagai perbuatan keseharian ketika diniatkan untuk mencari ridha Allah. Ia bermakna pula berbagai perbuatan yang tercakup dalam ibadah yang diwajibkan oleh Islam untuk dilaksanakan, yaitu ibadah yang benar, terbebas dari cacat dan penyimpangan, dan tidak menerima berbagai kebatilan.
Demikianlah ibadah menurut Islam karena ibadah itu dari Allah dan telah diperinci dengan detail dalam syari’at Islam yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia, juga meliputi seluruh kewajiban yang harus dilaksanakan atau hak-hak yang harus dipenuhinya.
Oleh karena sebagian orang terkadang memisahkan antara aqidah dan ibadah yang benar maka mereka memandang bahwa aqidah adalah sesuatu yang berdiri sendiri yang tidak berkaitan dengan ibadah atau amal. Sebab itu, Imam Mu’assis ingin menghilangkan pemahaman keliru ini dan mengingatkan mereka dan orang-orang lalai yang lain, kemudian beliau menegaskan bahwa Islam, di samping berupa aqidah yang lurus, juga merupakan ibadah yang timbul dari aqidah yang lurus tersebut.
Makna yang dikehendaki oleh Imam adalah menegaskan bahwa aqidah, sekalipun lurus, tidak akan bermakna bila tidak diungkapkan dengan ibadah yang benar, sesuai dengan syariat Allah.
Begitu juga ibadah, sekalipun sudah dilakukan oleh hamba-hamba dengan serius, bila tidak tumbuh dari aqidah yang lurus maka ia hanya fatamorgana yang tidak bermakna apa-apa.
Inilah makna sawa-un bi sawa-in (tidak kurang tidak lebih). Wallahu ‘alam.
26 Februari 2010
21 Februari 2010
SYARAH ARKANUL BAI’AT (1): Rukun Al-Fahmu
MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP ISLAM DALAM
“RISALAH TA’LIM”
Hasan Al-Banna memulai “Risalah” ini dengan mengatakan:
“Amma Ba’d:
Ini adalah “Risalah”-ku untuk para mujahidin Ikhwan, yang meyakini keluhuran dakwah dan kesucian fikrah mereka, kemudian berteguh hati untuk hidup atau mati dalam jalan dakwah itu.
Hanya kepada mereka saya menyampaikan pengarahan singkat ini. Ini bukan pelajaran untuk dihafal, akan tetapi ajaran yang harus diaplikasikan. Maka bergegaslah dalam beramal, wahai Ikhwah ash-shadiqun…!
“Dan katakanlah, ‘Beramallah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang mukmin akan melihat amalmu dan kamu akan dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui alam gaib dan alam nyata, kemudian Dia akan menjelaskan kepadamu apa yang telah kamu perbuat’” (QS. At-Taubah [9]: 105).
“Inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah dan jangan kamu ikuti berbagai jalan yang mengakibatkan kamu berpecah belah jauh dari jalan-Nya.itulah yang Dia wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa (QS. Al-An’am [6]: 153)
Orang-orang selain mujahidin memiliki berbagai pelajaran, perkuliahan, buku-buku, makalah-makalah, acara-acara seremonial, dan kegiatan formal. Masing-masing golongan memiliki kiblat yang dia menghadap kepadanya, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan dan Allah telah menjanjikan kebaikan kepada semuanya. Wassalamu’alaikum wr. wb.
***
Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan tentang berbagai motivasi yang melandasi persiapan Ikhwan dan tarbiahnya kepada mereka agar menjadi figure dalam beramal di tengah-tengah Jama’ah dan figure dalam mengamalkan islam secara keseluruhan. Juga agar sebagian mereka menjadi mujahid yang sabar dan ikhlas yang menjual jiwa dan hartanya untuk mendapat keridhaan Allah.
Imam Mu’assis menganggap masuknya para individu dalam marhalah ini sama dengan bai’at yang harus mereka penuhi dan tidak boleh mereka tinggalkan. Beliau juga merumuskan sepuluh rukun bai’at dan menjelaskan masing-masing dengan penjelasan yang telah beliau sepakati bersama Ikhwan saat itu sebagai bagian dari sejarah Jamaah. Beliau berkonsentrasi pada rukun pertama, yaitu al-fahm. Dalam uraiannya beliau membenahi persoalan-persoalan aqidah, ibadah, dan mu’amalah dengan relative lebih luas bila dibandingkan dengan pembicaraan beliau tentang rukun yang lain, karena rukun pertama merupakan fondasi berdirinya rukun-rukun yang lain.
Beliau menulis Risalah ini pada tahun 1943 M. ketika jamaah tersebut telah melewati umur satu setengah dasawarsa dan telah memiliki andil besar dalam amal nyata, sumber daya manusia, dan hukum.
Dalam buku ini, kami akan berupaya memperkenalkan rukun-rukun bai’at satu persatu secara global dan membahas tentang rukun al-fahm dengan lebih jelas. Hanya kepada Allah kami mohon pertolongan dan taufik.
Imam Mu’assis mengatakan, “Wahai Ikhwan yang tulus, rukun bai’at kita ada sepuluh, maka jagalah: al-fahm, al-ikhlas, al-‘amal, al-jihad, at-tadhliyah, at-tha’ah, ats-tsabat, at-tajarrud, al-ukhuwwah, dan ats-tsiqah.
RUKUN-RUKUN BAI’AT
Pertama-tama, kami akan menjelaskan ungkapan:
ﺃﺭﻜﺎﻥ ﺒﻳﻌﺗﻧﺎ ﻋﺸﺮﺓ ﻒﺎﺣﻒﻅﻮﻫﺎ
(Rukun bai’at kita ada sepuluh, maka jagalah!)
Pada dasarnya ungkapan tersebut hanyalah terdiri dari beberapa kata, yaitu arkan, bai’at, dan ihfazhuha.
Kata Arkan adalah jamak dari Rukn, yaitu pilar utama atau salah satu pilar yang menjadi fondasi bangunan sesuatu. Atau pilar yang apabila ditinggalkan maka batallah suatu pekerjaan dan tidak memiliki kekuatan lagi. Atau pilar yang terkuat. Atau masalah yang besar. Atau sesuatu yang mempunyai kekuatan, baik berupa raja, tentara, dan lainnya, atau berupa kedudukan dan kemampuan pertahanan.
Kata bai’at berarti perjanjian untuk mencurahkan ketaatan dengan harga yang setimpal. Pada asalnya, kata bai’at bermakna mencurahkan ketaatan kepada penguasa dalam melakukan perintahnya. Seseorang yang melakukan bai’at berarti dia telah berjanji untuk mencurahkan ketaatannya, sekalipun ketaatan tersebut menuntut harta atau kepayahan atau jiwa selama hal itu dalam mencari keridhaan Allah swt.
Yang dimaksud dengan harga yang setimpal adalah surga Allah yang telah Dia sediakan untuk orang-orang yang mengorbankan harta dan jiwanya dijalan-Nya. Telah tertuang dalam Al-Qur’an pembicaraan tentang bai’at antara Allah dan hamba-hamba-Nya yang mukmin da suci. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah kemudian mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah dalam kitab Taurat, Injil dan Al Qur'an. Siapa yang lebih memenuhi janjinya daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. Al-Taubah [9]: 111)
Bai’at ini terjadi antara Allah dan hamba-hamba-Nya yang beriman. Dalam transaksi tersebut, Allah menjadi pembeli dan si mukmin yang tulus sebagai penjual, sedangkan imbalannya adalah surge. Ketika bai’at ini telah selesai antara seorang mukmin dan Tuhannya, maka si mukmin tersebut tidak memiliki lagi harta dan jiwanya dan tidak boleh mencurahkannya kepada selain Allah, yakni selain berjuang di jalan-Nya agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, agar secara keseluruhannya benar-benar milik Allah dan manhaj Islam benar-benar dapat diaplikasikan dan menjadi solusi bagi seluruh problem hidup. Harga yang berupa surga merupakan harga yang tak tertandingi oleh apapun. Ini hanyalah kemurahan dan rahmat dari Allah saja. Selama seluruh jiwa, Dia penciptanya, dan harta, Dia pemberinya, maka kemurahan dan kenikmatan dari Allah yang mana yang menandingi surga? Para ulama Salaf mengatakan dalam hal ini, “Ketika transaksi ini telah nyata berungtung maka kita tidak akan memindahtangankan dan tidak akan minta dipindahtangankan.”
Begitu juga kata bai’at telah diangkat dalam Al-Qur’an berkaitan dengan Bai’at Ar-Ridhwan di Hudaibiyah, yaitu bai’at yang terjadi secara riil antara Rasulullah dan oaring-orang mukmin di bawah suatu pohon. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berbai’at kepadamu di bawah pohon maka Allah mengetahui apa yang ada di hati mereka, lalu Dia menurunkan ketenangan kepada mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat. Berikut ghanimah yang banyak yang mereka peroleh. Dan Allah Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fath[48]: 18-17)
Bai’at dalam jama’ah ini berarti sumpah setia pada perjuangan di jalan Allah agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi dan harga di dalamnya adalah keridhaan Allah serta surga di hari kita bertemu dengan-Nya. Oleh karena itu, Imam Mu’assis mengungkapkan bai’at tersebut dengan kata bai’atuna (bai’at kita), yakni bai’at Ikhwan kepada pemimpin mereka untuk berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwanya, sehingga manhaj dan syari’at Allah menjadi mulia dalam kehidupan umat manusia.
Bai’at ini bukanlah bai’at kepada seorang pemimpin umat islam atau khalifah yang telah dipilih oleh ahlul-Halli wal-Aqdi atau dipilih oleh umat islam.
Saya menegaskan demikian untuk membebaskan fikrah ini dari segala bias yang terjadi di dalam Jama’ah atau di sekelilingnya, karena in adalah masalah syari’at yang tidak mengandung ta’wil. Ini disebabkan sebagian orang yang belum mendalami syari’at islam mengatakan, “Sesungguhnya Imam Mu’assis telah memberi dirinya hak-hak Imam umat islam.” Pernyataan ini batil yang akan ditepis oleh kefaqihan seseorang terhadap islam, oleh realitas kehidupan Jama’ah dan oleh orang-orang yang berbai’at kepadanya. Kebanyakan mereka masih hidup dan saya adalah salah satu dari mereka.
Imam Mu’assis menganggap Jama’ah Ikhwanul Muslimin dengan keseluruhan manhaj, sistem, manajemen, bangsa, wilayah, bagian, dan pengurusnya hanya sebagai satu langkah atau beberapa langkah menuju satu kondisi yang umat islam memiliki pemerintahan islam di satu negara. Kemudian pemerintahan islam semakin meluas seinring dengan bertambahnya jumlah negara sehingga pada gilirannya terjadilah persatuan. Mereka mengkaji tentang pemerintahan, perangkat, dan langkah-langkahnya, sehingga umat islam menjadi satu umat. Ketika itu, umat islam atau ahlul-Halli wal-‘Aqdi bersepakat untuk memilih seorang imam atau khalifah mereka, lalu dilakukanlah bai’at kepadanya dan Ikhwanul Muslimin akan menjadi orang pertama yang berbai’at, mendengar, dan menaatinya.
Inilah pemahaman Imam Mu’assis tentang masalah ini dan telah banyak sekali kita mendengar kajian tentang ini darinya dalam forum-forum khusus, demikian pula dalam karya-karyanya. Semua orang yang berbicara, tanpa itu semua, berarti belum mengenal Imam Mu’assis dari dekat dan belum membaca apa yang beliau tulis dengan mendalam, dengan cermat diseertai analisis ilmiah yang tajam.
Rukun bai’at adalah pilar-pilar kuat yang menjadi fondasi Jam’ah. Jamaah ini tidak bias tegak tanpa bai’at. Sedangkan bai’at sendiri tidak dianggap bai’at tanpa terpenuhinya rukun-rukun itu. Rukun tersebut ada sepuluh sebagaimana yang telah dihitung oleh Imam Mu’assis. Maka kuasailah tuntunan-tuntunan reformasi itu
Kata fahfazhuha (jagalah dia) memiliki dua makna yaitu
1. Sadar dan paham setelah mencermati, dalam arti merasa mantap pada hasil pemahaman
2. Melaksanakan konsekuensi bai’at, yakni memelihara, menjaga, dan melaksanakan
Masing-masing dari keduanya tidak bias mewakili makna lainnya, akan tetapi keduanya (kepahaman dan pelaksanaan) harus berjalan bersama secara simultan.
Inilah kesepuluh rukun yang telah kami singgung secara global. Kami akan menjelaskan rukun pertama, yaitu al-fahm, dengan pertolongan dan taufiq dari Allah sebagai berikut.
(bersambung)
“RISALAH TA’LIM”
Hasan Al-Banna memulai “Risalah” ini dengan mengatakan:
“Amma Ba’d:
Ini adalah “Risalah”-ku untuk para mujahidin Ikhwan, yang meyakini keluhuran dakwah dan kesucian fikrah mereka, kemudian berteguh hati untuk hidup atau mati dalam jalan dakwah itu.
Hanya kepada mereka saya menyampaikan pengarahan singkat ini. Ini bukan pelajaran untuk dihafal, akan tetapi ajaran yang harus diaplikasikan. Maka bergegaslah dalam beramal, wahai Ikhwah ash-shadiqun…!
“Dan katakanlah, ‘Beramallah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang mukmin akan melihat amalmu dan kamu akan dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui alam gaib dan alam nyata, kemudian Dia akan menjelaskan kepadamu apa yang telah kamu perbuat’” (QS. At-Taubah [9]: 105).
“Inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah dan jangan kamu ikuti berbagai jalan yang mengakibatkan kamu berpecah belah jauh dari jalan-Nya.itulah yang Dia wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa (QS. Al-An’am [6]: 153)
Orang-orang selain mujahidin memiliki berbagai pelajaran, perkuliahan, buku-buku, makalah-makalah, acara-acara seremonial, dan kegiatan formal. Masing-masing golongan memiliki kiblat yang dia menghadap kepadanya, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan dan Allah telah menjanjikan kebaikan kepada semuanya. Wassalamu’alaikum wr. wb.
***
Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan tentang berbagai motivasi yang melandasi persiapan Ikhwan dan tarbiahnya kepada mereka agar menjadi figure dalam beramal di tengah-tengah Jama’ah dan figure dalam mengamalkan islam secara keseluruhan. Juga agar sebagian mereka menjadi mujahid yang sabar dan ikhlas yang menjual jiwa dan hartanya untuk mendapat keridhaan Allah.
Imam Mu’assis menganggap masuknya para individu dalam marhalah ini sama dengan bai’at yang harus mereka penuhi dan tidak boleh mereka tinggalkan. Beliau juga merumuskan sepuluh rukun bai’at dan menjelaskan masing-masing dengan penjelasan yang telah beliau sepakati bersama Ikhwan saat itu sebagai bagian dari sejarah Jamaah. Beliau berkonsentrasi pada rukun pertama, yaitu al-fahm. Dalam uraiannya beliau membenahi persoalan-persoalan aqidah, ibadah, dan mu’amalah dengan relative lebih luas bila dibandingkan dengan pembicaraan beliau tentang rukun yang lain, karena rukun pertama merupakan fondasi berdirinya rukun-rukun yang lain.
Beliau menulis Risalah ini pada tahun 1943 M. ketika jamaah tersebut telah melewati umur satu setengah dasawarsa dan telah memiliki andil besar dalam amal nyata, sumber daya manusia, dan hukum.
Dalam buku ini, kami akan berupaya memperkenalkan rukun-rukun bai’at satu persatu secara global dan membahas tentang rukun al-fahm dengan lebih jelas. Hanya kepada Allah kami mohon pertolongan dan taufik.
Imam Mu’assis mengatakan, “Wahai Ikhwan yang tulus, rukun bai’at kita ada sepuluh, maka jagalah: al-fahm, al-ikhlas, al-‘amal, al-jihad, at-tadhliyah, at-tha’ah, ats-tsabat, at-tajarrud, al-ukhuwwah, dan ats-tsiqah.
RUKUN-RUKUN BAI’AT
Pertama-tama, kami akan menjelaskan ungkapan:
ﺃﺭﻜﺎﻥ ﺒﻳﻌﺗﻧﺎ ﻋﺸﺮﺓ ﻒﺎﺣﻒﻅﻮﻫﺎ
(Rukun bai’at kita ada sepuluh, maka jagalah!)
Pada dasarnya ungkapan tersebut hanyalah terdiri dari beberapa kata, yaitu arkan, bai’at, dan ihfazhuha.
Kata Arkan adalah jamak dari Rukn, yaitu pilar utama atau salah satu pilar yang menjadi fondasi bangunan sesuatu. Atau pilar yang apabila ditinggalkan maka batallah suatu pekerjaan dan tidak memiliki kekuatan lagi. Atau pilar yang terkuat. Atau masalah yang besar. Atau sesuatu yang mempunyai kekuatan, baik berupa raja, tentara, dan lainnya, atau berupa kedudukan dan kemampuan pertahanan.
Kata bai’at berarti perjanjian untuk mencurahkan ketaatan dengan harga yang setimpal. Pada asalnya, kata bai’at bermakna mencurahkan ketaatan kepada penguasa dalam melakukan perintahnya. Seseorang yang melakukan bai’at berarti dia telah berjanji untuk mencurahkan ketaatannya, sekalipun ketaatan tersebut menuntut harta atau kepayahan atau jiwa selama hal itu dalam mencari keridhaan Allah swt.
Yang dimaksud dengan harga yang setimpal adalah surga Allah yang telah Dia sediakan untuk orang-orang yang mengorbankan harta dan jiwanya dijalan-Nya. Telah tertuang dalam Al-Qur’an pembicaraan tentang bai’at antara Allah dan hamba-hamba-Nya yang mukmin da suci. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah kemudian mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah dalam kitab Taurat, Injil dan Al Qur'an. Siapa yang lebih memenuhi janjinya daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. Al-Taubah [9]: 111)
Bai’at ini terjadi antara Allah dan hamba-hamba-Nya yang beriman. Dalam transaksi tersebut, Allah menjadi pembeli dan si mukmin yang tulus sebagai penjual, sedangkan imbalannya adalah surge. Ketika bai’at ini telah selesai antara seorang mukmin dan Tuhannya, maka si mukmin tersebut tidak memiliki lagi harta dan jiwanya dan tidak boleh mencurahkannya kepada selain Allah, yakni selain berjuang di jalan-Nya agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, agar secara keseluruhannya benar-benar milik Allah dan manhaj Islam benar-benar dapat diaplikasikan dan menjadi solusi bagi seluruh problem hidup. Harga yang berupa surga merupakan harga yang tak tertandingi oleh apapun. Ini hanyalah kemurahan dan rahmat dari Allah saja. Selama seluruh jiwa, Dia penciptanya, dan harta, Dia pemberinya, maka kemurahan dan kenikmatan dari Allah yang mana yang menandingi surga? Para ulama Salaf mengatakan dalam hal ini, “Ketika transaksi ini telah nyata berungtung maka kita tidak akan memindahtangankan dan tidak akan minta dipindahtangankan.”
Begitu juga kata bai’at telah diangkat dalam Al-Qur’an berkaitan dengan Bai’at Ar-Ridhwan di Hudaibiyah, yaitu bai’at yang terjadi secara riil antara Rasulullah dan oaring-orang mukmin di bawah suatu pohon. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berbai’at kepadamu di bawah pohon maka Allah mengetahui apa yang ada di hati mereka, lalu Dia menurunkan ketenangan kepada mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat. Berikut ghanimah yang banyak yang mereka peroleh. Dan Allah Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fath[48]: 18-17)
Bai’at dalam jama’ah ini berarti sumpah setia pada perjuangan di jalan Allah agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi dan harga di dalamnya adalah keridhaan Allah serta surga di hari kita bertemu dengan-Nya. Oleh karena itu, Imam Mu’assis mengungkapkan bai’at tersebut dengan kata bai’atuna (bai’at kita), yakni bai’at Ikhwan kepada pemimpin mereka untuk berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwanya, sehingga manhaj dan syari’at Allah menjadi mulia dalam kehidupan umat manusia.
Bai’at ini bukanlah bai’at kepada seorang pemimpin umat islam atau khalifah yang telah dipilih oleh ahlul-Halli wal-Aqdi atau dipilih oleh umat islam.
Saya menegaskan demikian untuk membebaskan fikrah ini dari segala bias yang terjadi di dalam Jama’ah atau di sekelilingnya, karena in adalah masalah syari’at yang tidak mengandung ta’wil. Ini disebabkan sebagian orang yang belum mendalami syari’at islam mengatakan, “Sesungguhnya Imam Mu’assis telah memberi dirinya hak-hak Imam umat islam.” Pernyataan ini batil yang akan ditepis oleh kefaqihan seseorang terhadap islam, oleh realitas kehidupan Jama’ah dan oleh orang-orang yang berbai’at kepadanya. Kebanyakan mereka masih hidup dan saya adalah salah satu dari mereka.
Imam Mu’assis menganggap Jama’ah Ikhwanul Muslimin dengan keseluruhan manhaj, sistem, manajemen, bangsa, wilayah, bagian, dan pengurusnya hanya sebagai satu langkah atau beberapa langkah menuju satu kondisi yang umat islam memiliki pemerintahan islam di satu negara. Kemudian pemerintahan islam semakin meluas seinring dengan bertambahnya jumlah negara sehingga pada gilirannya terjadilah persatuan. Mereka mengkaji tentang pemerintahan, perangkat, dan langkah-langkahnya, sehingga umat islam menjadi satu umat. Ketika itu, umat islam atau ahlul-Halli wal-‘Aqdi bersepakat untuk memilih seorang imam atau khalifah mereka, lalu dilakukanlah bai’at kepadanya dan Ikhwanul Muslimin akan menjadi orang pertama yang berbai’at, mendengar, dan menaatinya.
Inilah pemahaman Imam Mu’assis tentang masalah ini dan telah banyak sekali kita mendengar kajian tentang ini darinya dalam forum-forum khusus, demikian pula dalam karya-karyanya. Semua orang yang berbicara, tanpa itu semua, berarti belum mengenal Imam Mu’assis dari dekat dan belum membaca apa yang beliau tulis dengan mendalam, dengan cermat diseertai analisis ilmiah yang tajam.
Rukun bai’at adalah pilar-pilar kuat yang menjadi fondasi Jam’ah. Jamaah ini tidak bias tegak tanpa bai’at. Sedangkan bai’at sendiri tidak dianggap bai’at tanpa terpenuhinya rukun-rukun itu. Rukun tersebut ada sepuluh sebagaimana yang telah dihitung oleh Imam Mu’assis. Maka kuasailah tuntunan-tuntunan reformasi itu
Kata fahfazhuha (jagalah dia) memiliki dua makna yaitu
1. Sadar dan paham setelah mencermati, dalam arti merasa mantap pada hasil pemahaman
2. Melaksanakan konsekuensi bai’at, yakni memelihara, menjaga, dan melaksanakan
Masing-masing dari keduanya tidak bias mewakili makna lainnya, akan tetapi keduanya (kepahaman dan pelaksanaan) harus berjalan bersama secara simultan.
Inilah kesepuluh rukun yang telah kami singgung secara global. Kami akan menjelaskan rukun pertama, yaitu al-fahm, dengan pertolongan dan taufiq dari Allah sebagai berikut.
(bersambung)
SYARAH ARKANUL BAI’AT (1): Rukun Al-Fahmu
penulis Dr. Ali Abdul Halim Mahmud
MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah Tuhan Seru Sekalian Alam, Yang MahaPengasih lagi Maha Penyayang, Yang Merajai hari pembalasan. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta, juga kepada keluarga dan sahabatnya, serta orang-orang yang berjalan berdasarkan ajarannya sampai Hari Kiamat
Sesungguhnya umat Islam saat ini, bahkan sejak permulaan abad setelah saya lahir, menjalani hidup dalam keterpurukan, perbedaan kata, kehilangan kewibawaan, bahkan dalam kesia-siaan dan keguncangan. Kondisi ini mungkin telah menjadi target musuh umat Islam, dan mungkin juga disebabkan oleh umat Islam sendiri karena telah jauh dari manhaj Islam. Akibatnya, mereka hidup dengan keterbelakangan peradaban yang sebenarna tidak pantas mereka sandang sebagai orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada agama paling sempurna, yakni agama yang menegakkan peradaban manusia tertinggi dari sisi universalitas dan kekuatannya untuk mewujudkan kehormatan manusia, menjaga hak-haknya serta mendukung terwujudnya kehidupan manusiawi yang mulia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini telah disaksikan baik oleh umat islam sendiri, maupun oleh kalangan non muslim.
Sebab-sebab Perpecahan dan Kemunduran Peradaban Umat Islam Saat Ini
Menjadi keharusan untuk menjelaskan tentang sebab-sebab keterpurukan, perpecahan, kehancuran, dan keterbelakagan peradaban umat islam, agar orang yang lalai menjadi bangkit dan orang yang belum tahu menjadi tahu.
Pada dasarnya, sebab-sebab tersebut sangat banyak dan cukup membuat bingung orang yang mencermatinya, namun semuanya kembali pada dua hal utama:
1. Sebab-sebab eksternal yang datang dari luar dunia Islam
2. Sebab-sebab yang bersumber dari dalam kaum muslimin sendiri
Terkadang sebab yang pertama mengakibatkan terjadinya sebab kedua dan terkadang hanya berdampak kepada sebab pertama saja.
Sebab-sebab yang mengakibatkan keterpurukan dan perpecahan umat Islam dan telah diidentifikasikan datang dari luar jumlahnya sangat banyak, antara lain:
- Konspirasi bangsa-bangsa Barat –pewaris kaum Salib dan sisa-sisa peperangan mereka melawan Islam dan kaum muslimin—untuk memusnahkan Islam dan umatnya, atau menghancurkan kesatuan dan kemajuan kaum muslimin atau menghapus komitmen umat Islam pada manhajnya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
- Konspirasi kaum Yahudi –baik yang datang dari Timur, Barat, Utara, maupun Selatan—bersama bangsa Salib Barat untuk menjadikan Islam sebagai musuh bebuyutan mereka, memperlemah umat Islam, dan menghilangkan gaungnya. Dalam kondisi inilah, kaum Yahudi mampu mendirikan Negara di Palestina dan mereka dapat mencegah umat Islam agar tidak bersatu serta tidak concern, sehingga mereka selalu hidup dalam perpecahan dan saling permusuhan
- Konspirasi bangsa-bangsa Barat Kristen dan kaum Yahudi, Zionis, serta Uni Soviet dengan paham Komunisme dan Sosialisme yang mereka usung, untuk memukul Islam dan umatnya di seluruh wilayah yang perpotensi memiliki kekuatan serta menghalangi mereka dalam kesatuan kata, apalagi kesatuan barisan
- Konspirasi kekuatan-kekuatan tersebut dibarengi dengan maraknya kerusakan, dekadensi moral, dan terfokusnya perhatian manusia pada syahwat yang dipropagandakan kepada umat Islam, baik datang dari Barat, Timur, dan kaum Yahudi, dengan tujuan agar umat Islam tenggelam dalam hal-hal yang dilarang dan diharamkan Allah, sehingga mereka tunduk dan mengikuti kehendak syahwatnya serta tidak lagi memiliki sesuatu yang berharga. Ini semua adalah tujuan musuh, baik secara kolektif maupun individual.
Sedangkan sebab-sebab internal yang menyebabkan keterpurukan, perpecahan dan hilangnya kewibawaan umat Islam juga sangat banyak. Kami hanya menebutkan sebagian saja. Sebab-sebab yang dapat kami tunjukkan sebagai berikut:
- Lemahnya keberagamaan umat Islam dan ketidakseriusan sebagian besar mereka dalam menjaga kewajiban-kewajiban dan moralitas agama, dan keterpikatan mereka pada peradaban Barat –yakni peradaban materialistis yang mengkonsentrasikan perhatian pada sisi materi— serta berpaling dari peradabannya sendiri, lalu mengikuti berbagai langkah materialisasi yang diciptakan Barat, baik secara mental, moral, bahkan secara religious, dengan cara memisahkan agama dari kehidupan. Juga keterjerumusan sebagian umat Islam pada paham yang telah dipublikasikan oleh kaum Komunis dan Sosialis bahwa manusia, menurut prinsip mereka, harus hidup dalam surga dunia dengan cara berserikat dalam segala hal. Kemudian fakta membuktikan kebohongan berbagai propaganda tersebut, yaitu ketika dengan secepat kilat dunia Komunisme dan Sosialisme mengalami kehancuran
- Sebab-sebab internal yang terpenting adalah penyimpangan terhadap sebagian sistem hukum yang dilakukan para hakim diberbagai negara di dunia Islam. Para hakim banyak dijajah oleh hawa nafsu dan mereka melakukan kerja sama dengan berbagai kekuatan Barat dan Timur yang memusuhi Islam
- Semua sebab yang ada di dunia Islam dan sebab-sebab lain yang tidak mampu dimuat dalam pengantar ini sampai dengan sebab-sebab eksternal yang telah kami sebutkan sekilas, telah mengakibatkan keterpurukan umat Islam, perpecahan, kehancuran, dan kemunduran peradaban mereka di abad yang kita hidup di dalamnya ini.
Hal yang mendesak untuk dilakukan adalah upaya agar umat Islam dapat keluar dari wilayah yang telah dijadikan target oleh gerakan musuh Islam. Dengan harapan umat Islam tidak terjebak terus-menerus dalam kondisi seperti ini: jauh dari Islam, terpuruk dan mundur peradabannya, yang semua itu akan memberi kesempatan emas bagi musuh hingga mereka semakin kokoh, yang berarti pula kaum muslimin membantu musuh untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Jalan Keluar Dari Perpecahan Dan Kehancuran
Umat islam tidak akan mampu memulai upayanya untuk merekonstruksi peradaban yang didasari iman, amal saleh, keadilan, ihsan, dan amar ma’ruf nahi munkar, kecuali bila mereka kembali berpegang pada manhaj islam dalam kehidupannya, sebagaimana mereka telah mampu membangun peradaban yang luhur yang diadopsi oleh Barat, baik secara praktis maupun teknis, dengan ajaran islam sebagai fondasinya
Manhaj Reformasi Para Reformis Muslim
Untuk menyeru umat islam agar berpegang pada manhaj agung ini dan menghidupkan pilar-pilar serta nilai-nilai agama dalam jiwa mereka maka di awal tiap seratus tahun, Allah membangkitkan seorang mujadid yang mereformasi urusan agamanya, sebagaimana terungkap melalui lisan Rasulullah yang ma’sum, sehingga umat Islam kembali berpegang teguh kepada manhajnya sendiri dan pada gilirannya mampu mengambil kembali kedudukan mereka yang sebenarnya, yakni sebagai pembimbing manusia ke jalan yang mampu memperbaiki agama dan kehidupan dunia.
Inilah aktivitas dan motivasi para reformis dan orang-orang saleh di sepanjang sejarah islam. Ketika seorang reformis berhasil membangkitkan umat islam untuk mengaplikasikan manhajnya, berarti umat islam telah berhasil mengembalikan peradabannya, sekalipun kanan-kiri mereka banyak musuh dan jumlah penentangnya bertambah.
Kami tidak pernah membayangkan seorang reformis Muslim, dari masa ke masa, kecuali dia memiliki niat yang baik dalam seruannya dan tak seorang pun kecuali akan mengatakan demikian. Martabat seseorang dari mereka tidak akan berkurang kecuali kalau dia digerakkan oleh hawa nafsunya atau didominasi oleh kebodohannya tentang Islam atau tentang reformasi dan pembaharuan agama ini.
Masalahnya adalah, ada sebagian reformis yang melihat sebab keterpurukan dan keterbelakangan peradaban umat islam lebih daripada sekadar sebab, sehingga dia memberi perhatian serius kepada langkah rehabilitasnya, menjadikan sebab tersebut sebagai puncak prioritas reformasi, atau bahkan membatasi reformasinya hanya pada upaya tersebut, sehingga mereka mampu menghapus bekasnya dan menghilangkan sama sekali dampak sebab-sebab tersebut. Dalam upayanya itu, dia menyalahi prinsip skala prioritas dalam reformasi sehingga menganggap sesuatu yang penting sebagai yang tidak penting dan yang tidak penting sebagai hal yang penting.
Sebagai contoh:
Sebagian kaum reformis ada yang menekankan perhatiannya pada reformasi aqidah, mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa aqidahnya baik dan bebas dari berbagai polusi, maka perbuatannya akan baik, karena perbuatan itu keluar dari aqidah. Ketika aqidah seseorang benar, maka perbuatannya pun pasti akan benar. Pendapat ini tidak salah, meskipun tidak benar keseluruhannya.
Sebagian kaum reformis ada yang menekankan perhatiannya pada aspek ibadah, sehingga mereka memprioritaskan langkah reformasi padanya. Mereka meyakini bahwa barangsiapa benar Ibadahnya, maka dia sudah berjalan sesuai syari’at, sudah berada di jalan yang benar, bertaqwa, dan mendekatkan diri kepada Allah. Barangsiapa seperti itu maka Allah akan memperbaiki orang tersebut sehingga dia menjadi baik karenanya. Bahkan dia akan diberi pahala dengan kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Ibadah yang benar, menurut Allah, merupakan kunci segala kebaikan dan tutup segala kejelekan, baik di dunia maupun di akhirat. Demikian menurut kelompok ini.
Sebagian reformis ada yang berpandangan bahwa aspek paling urgen dalam langkah reformasi adalah memperbaiki dan membersihkan mental dari berbagai polusi serta memperkuat komunikasi dengan penciptanya, sehingga bertambahlah kecenderungan dan kecintaannya kepada-Nya dan pada gilirannya mental tersebut mampu mencapai tingkat keridhaan kepada Allah. Barangsiapa mampu mencapai tingkat tersebut maka Allah berjanji kepadanya akan mengabulkan permintaannya dan memberi pertolongan kepadanya. Seorang muslim diharapkan mampu mencapai tingkatan ini, sehingga terbuka di hadapannya pintu-pintu kebaikan yang terkunci dan tertutup pintu-pintu kejelekan yang terbuka sebelumnya.
Sebagian mereka ada yang berpandangan bahwa perang melawan kemungkaran dan kekejian, baik yang tampak maupun yang tidak, merupakan reformasi, dalam arti mengentaskan umat islam dari kondisi buruk sekarang ini. Dia memberikan prioritas pada masalah ini dengan proporsi yang besar, karena berpijak pada keyakinan bahwa para pelaku kejahatan dan kemungkaran tidak mungkin menjadi kekasih Allah. Maka tidak ada kesuksesan dan kejayaan di tangan mereka. Lihatlah, bagaimana pertolongan Allah dalam berbagai peperangan melawan musuh-musuh islam. Pertolongan tersebut tidak akan datang kecuali kepada orang-orang mukmin.
Sebagian reformis melihat adanya penyakit kronis di tubuh umat islam akibat kecerobohan mereka dalam memperlakukan teks Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka memandang penting mengambil Dzahir teks-teks tersebut secara harfiah tanpa ta’wil. Maka mereka mencurahkan pada dzahir teks-teks tersebut secara harfiah dan kembali pada langkah kaum salaf, karena hal itulah yang menjadi terapi dan kebebasan dari keterpurukan dan kehancuran umat ini.
Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa umat Islam sekarang membutuhkan seruan kepada Allah dan membutuhkan pengajaran agama sehingga mereka mau keluar di jalan Allah untuk menyeru ke (jalan)-Nya dan menunjukkan umat manusia kepada agama mereka. Barangsiapa mengetahui masalah agamanya, maka hanya amal saleh yang akan keluar dari dirinya dan dalam amal saleh itu sendiri mengandung terapi bagi umat islam.
Sebagian mereka ada yang mengatakan, “Saya akan membangun fondasi yang kokoh bagi umat Islam, dan amal saleh mengandung terapi bagi umat islam yang paham. Saya akan mendidik mereka dalam kesunyian dan di sudut-sudut kota, sehingga mereka benar-benar mengetahui apa yang harus diketahui.”
Maka kelompok tersebut menempuh jalan kema’rifatan bersama mereka. Ia berpandangan bahwa jalan ituah hakikat terapi dan pencapaian tingkat tertinggi yang merupakan keselamatan di dunia dan akhirat.
Sebagian reformis ada yang mengatakan, “Sesunguhnya dunia Islam sedang kehilangan figur, seandainya ada figur yang bijak mau memberi petunjuk, niscaya kondisi seperti ini tidak pernah terjadi.” Maka dia berpandangan untuk mendidik para tokoh dan menjelaskan bahwa mendidik seorang figur lebih baik daripada mendidik seribu tentara. Dia terus berada pada langkahnya dengan keyakinan bahwa langkah itulah yang paling tepat dan menjadi terapi keterpurukan dan kehancuran umat ini.
Sebagian reformis ada pula yang mengatakan bahwa penyakit umat islam adalah kebodohan. Maka dia membangun program reformasinya dengan memberikan perhatian besar pada ilmu dan pemikiran dengan menjelaskan bahwa jalan kemajuan umat di masa silam dan sekarang adalah ilmu pengetahuan dan keunggulan mereka terletak di dalamnya. Inilah hakekat rehabilitasi dari kemunduran peradaban yang sedang dialami oleh umat islam sekarang.
Sebagian mereka ada lagi yang mengatakan bahwa bangsa Barat tidak melampaui kita kecuali dengan teknologi, sehingga bangsa Barat menjadikan teknologi sebagai cara yang mereka tempuh untuk mencapai keinginannya, yakni kekuatan dan dominasi terhadap berbagai bangsa. Kemudian mereka memantapkan cara itu dengan turun ke berbagai wilayah tempat mereka memasarkan kemajuan teknologinya, lalu mereka menjadikan berbagai teknologinya itu sebagai rahasia yang tidak boleh dipublikasikan. Maka kelompok ini menempuh cara tersebut dengan anggapan bahwa cara itulah yang bisa mengantarkan kepada kebaikan dan reformasi.
Sebagian kaum reformis ada yang melihat bahwa kendala penyatuan umat islam adalah para musuh. Ia mendeklarasikan: “saya akan memerangi musuh-musuh tersebut dan menjadikan mereka seagai focus. Apabila saya telah berhasil membebaskan umat dari mereka dan dari serangan mereka terhadap agma maka saya benar-benar telah mewujudkan langkah-langkah reformasi dan menghilangkan berbagai aral dari jalan, sehingga umat islam dapat melintasi jalan tersebut dan aman dari berbagai gangguan.
Sebagian reformis ada yang menyatakan, “Sekarang adalah zaman fitnah. Kecarut-marutan umat islam serta permusuhan antar mereka mendorong kita untuk hidup dalam era fitnah. Dlam hal fitnah, kita harusa menjauhkan diri darinya dan dari para pelakunya, sehingga kita tidak bersekutu dengan mereka yang mndorong kita menyalahi agama dan hukum-hukumnya. Apabila umat islam tidak terjun ke dalam fitnah tersebut atau tidak bergabung dengan pelakunya, maka terbuka lebar bagi mereka kondisi perdamaian dan reformasi.”
Sebagian mereka ada yang mengatakan, “Sesungguhnya komunitas umat islam sekarang dengan sistem hukumnya yang mengancam islam sendiri dan para hakim yang mneghukum umat islam serta mengotak-atik Al-Qur’an dan Sunnah adalah komunitas jahiliah. Maka tidak boleh hidup berdampingan dengan mereka, sebaliknya harus diputus hubungan dan dihindari sampai tiba pertolongan Allah. Ketika itu, terbebaslah umat islam dari kecarut-marutan dan kemunduran peradaban.”
Manhaj Reformasi Imam Al-Banna
Di antara reformis ada yang memiliki teori yang lebih komprehensif dan jelas. Dia menandaskan bahwa memberikan terapi sebagian dan membiarkan sebagian yang lain bukan merupak cara yang baik. Maka Allah telah membukakan pintu kebenaran dan member taufiq kepadanya ke jalan-Nya, kemudian Dia memberikan petunujuk tentang terapi yang benar. Orang ini (Al-Banna) mengatakan, sesungguhnya terapi bagi keterpurukan, perpecahan kata, kehancuran, dan kemunduran peradaban umat islam tidak bisadilakukan dengan terapi tunggal, ia harus dengan terapi kom[erhensif. Begitu juga manhaj reformasi untuk membebaskan umat islam dari keterpurukannya haruslah komprehensif tanpa memprirotaskan manhaj salah satu reformis, tapi harus mencakup seluruh unsur reformasi. Dengan itulah kondisi umat islam akan membaik.”
Unsur-unsur reformasi ini adalah:
1. Al-fahm: memahami agama islam dengan benar dan komprehensif
2. Al-ikhlash: ikhlas Karena Allah dalam beramal untuk agama
3. Al-‘amal: beramal demi agama ini dengan memperbaiki diri sendiri, rumah tangga muslim, masyarakat, pemerintah, dst
4. Al-jihad: jihad fi sabilillah dengan berbagai tingkatan dan variasinya
5. At-tadhliyah: berkorban watktu, kesungguhan, harta, dan jiwa demi agama
6. At-tha’ah: menaati Allah dan Rasul-Nya, baik dalam kondisi susah atau mudah, senang maupun benci
7. Ats-tsabat: memegan teguh agama, baik dari sisi aqidah, syari’ah, maupun perbuatan, sekalipun harus memakan waktu yang panjang untuk sampai pada tujuan
8. At-tajarrud: membersihkan diri dari pemikiran yang bertentangan dengan pemikiran islam dan dari setiap orang atau teman yang memisahkan seorang muslim dengan loyalitas kepada agamanya.
9. Al-ukuwwah: persaudaraan dalam agama, karena persaudaraan merupakan saudara persatuan dan terapi bagi keterpurukan dan kehancuran. Sedangkan perpecahan merupakan saudara kekufuran
10. At-tsiqah: kemantapan hati dalam mengontrol perbuatan demi islam sesuai dengan kaidah islam yang mengatakan, “Tidak ada ketaatan daam bermaksiat kepada Khaliq.”
Kesepuluh rukun (bai’at) di atas merupakan item-item manhaj reformasi yang mampu mengobati umat islam dari keterpurukan, perpecahan, dan kemunduran peradaban. Inilah manhaj yang diilhamkan oleh Allah kepada Imam Hasan Al-Banna, sehingga dia menulis Risalah yang menjadi risalah terlengkap dari sekian banyak risalahnya dan sekaligus menjadi dokumen terpenting bagi jama’ah yang memperhatikan kejelasan agendanya secara detail untuk memperbaiki kondisi umat islam dan mepersiapkan mereka guna mengendalikan peradaban umat manusia.
Dalam buku yang singkat ini, kami berupaya untuk memberikan penjelasan dan perincian yang sesuai dengan standar karya ilmiah akademis, agar buku ini dengan semua uraiannya dapat menjadi petunjuk kepada manhaj Jama’ah Ikwanul Muslimin dalam melakukan reformasi public kehidupan manusia melalui manhaj dan sistem islam. Juga agar dapat menegaskan kepada umat manusia bahwa moto “Islam adalah solusi” bukan omong kosong dan bukan hanya sekadar moto an sich, akan tetapi benar-benar diringi dengan manhaj yang komprehensif dan bersumber dari islam untuk memperbaiki aqidah, pemikiran, dan kultur serta memperbaiki ibadah, akhlak, dan amal. Inilah sesungguhnya reformasi sosial, ekonomi, dan politik. Ini pula sesungguhnya reformasi dakwah, harakah, pendidikan, dan sistem yang integral dan komprehensif.
Agar kita bisa menyampaikan Risalah Ta’lim ini kepada umat manusia secara umum dan kepada orang-orang yang berprasangka bahwa moto “Islam adalah Solusi” hanyalah moto belaka tanpa diiringi dengan manhaj yang jelas, kami akan menyampaikan kepada mereka realitas baru, yaitu bahwa moto “Islam adalah Solusi” benar-benar diiringi dengan manhaj yang dapat menghantarkan kepada tujuan dengan pasti dan menyeluruh.
Imam Mu’assis (pendiri Jama’ah Ikhwanul Muslimin) mengarahkan pesan ini kepada para sufi dari kalangan Ikhwanul Muslimin yang telah matang dalam amal dan dakwahnya, dan dalam harakah dan tarbiaahnya, dan telah memiliki skill dalam jihad fi sabilillah untuk mengaplikasikan manhaj islam dalam kehidupan. Oleh karena itu, meereka disebut para “mujahidin Ikhwan” karena beban jihad yang mereka pikul dengan segala tingkat dan jenis demi mengaplikasikan manhaj ini.
Dalam risalah yang sama mereka juga digelari para “Shadiqin Ikhwan”, karena mereka telah membenarkan janji Allah dan mereka masuk dalam barisan jama’ah. Mereka telah berjanji kepada-Nya dan berbai’at untuk beramal semampu mengaplikasikan manhaj islam dalam melakukan reformasi, dengan meyakini bahwa islam adalah solusi problem apapun dalam kehidupan manusia.
(bersambung)
MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah Tuhan Seru Sekalian Alam, Yang MahaPengasih lagi Maha Penyayang, Yang Merajai hari pembalasan. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta, juga kepada keluarga dan sahabatnya, serta orang-orang yang berjalan berdasarkan ajarannya sampai Hari Kiamat
Sesungguhnya umat Islam saat ini, bahkan sejak permulaan abad setelah saya lahir, menjalani hidup dalam keterpurukan, perbedaan kata, kehilangan kewibawaan, bahkan dalam kesia-siaan dan keguncangan. Kondisi ini mungkin telah menjadi target musuh umat Islam, dan mungkin juga disebabkan oleh umat Islam sendiri karena telah jauh dari manhaj Islam. Akibatnya, mereka hidup dengan keterbelakangan peradaban yang sebenarna tidak pantas mereka sandang sebagai orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada agama paling sempurna, yakni agama yang menegakkan peradaban manusia tertinggi dari sisi universalitas dan kekuatannya untuk mewujudkan kehormatan manusia, menjaga hak-haknya serta mendukung terwujudnya kehidupan manusiawi yang mulia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini telah disaksikan baik oleh umat islam sendiri, maupun oleh kalangan non muslim.
Sebab-sebab Perpecahan dan Kemunduran Peradaban Umat Islam Saat Ini
Menjadi keharusan untuk menjelaskan tentang sebab-sebab keterpurukan, perpecahan, kehancuran, dan keterbelakagan peradaban umat islam, agar orang yang lalai menjadi bangkit dan orang yang belum tahu menjadi tahu.
Pada dasarnya, sebab-sebab tersebut sangat banyak dan cukup membuat bingung orang yang mencermatinya, namun semuanya kembali pada dua hal utama:
1. Sebab-sebab eksternal yang datang dari luar dunia Islam
2. Sebab-sebab yang bersumber dari dalam kaum muslimin sendiri
Terkadang sebab yang pertama mengakibatkan terjadinya sebab kedua dan terkadang hanya berdampak kepada sebab pertama saja.
Sebab-sebab yang mengakibatkan keterpurukan dan perpecahan umat Islam dan telah diidentifikasikan datang dari luar jumlahnya sangat banyak, antara lain:
- Konspirasi bangsa-bangsa Barat –pewaris kaum Salib dan sisa-sisa peperangan mereka melawan Islam dan kaum muslimin—untuk memusnahkan Islam dan umatnya, atau menghancurkan kesatuan dan kemajuan kaum muslimin atau menghapus komitmen umat Islam pada manhajnya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
- Konspirasi kaum Yahudi –baik yang datang dari Timur, Barat, Utara, maupun Selatan—bersama bangsa Salib Barat untuk menjadikan Islam sebagai musuh bebuyutan mereka, memperlemah umat Islam, dan menghilangkan gaungnya. Dalam kondisi inilah, kaum Yahudi mampu mendirikan Negara di Palestina dan mereka dapat mencegah umat Islam agar tidak bersatu serta tidak concern, sehingga mereka selalu hidup dalam perpecahan dan saling permusuhan
- Konspirasi bangsa-bangsa Barat Kristen dan kaum Yahudi, Zionis, serta Uni Soviet dengan paham Komunisme dan Sosialisme yang mereka usung, untuk memukul Islam dan umatnya di seluruh wilayah yang perpotensi memiliki kekuatan serta menghalangi mereka dalam kesatuan kata, apalagi kesatuan barisan
- Konspirasi kekuatan-kekuatan tersebut dibarengi dengan maraknya kerusakan, dekadensi moral, dan terfokusnya perhatian manusia pada syahwat yang dipropagandakan kepada umat Islam, baik datang dari Barat, Timur, dan kaum Yahudi, dengan tujuan agar umat Islam tenggelam dalam hal-hal yang dilarang dan diharamkan Allah, sehingga mereka tunduk dan mengikuti kehendak syahwatnya serta tidak lagi memiliki sesuatu yang berharga. Ini semua adalah tujuan musuh, baik secara kolektif maupun individual.
Sedangkan sebab-sebab internal yang menyebabkan keterpurukan, perpecahan dan hilangnya kewibawaan umat Islam juga sangat banyak. Kami hanya menebutkan sebagian saja. Sebab-sebab yang dapat kami tunjukkan sebagai berikut:
- Lemahnya keberagamaan umat Islam dan ketidakseriusan sebagian besar mereka dalam menjaga kewajiban-kewajiban dan moralitas agama, dan keterpikatan mereka pada peradaban Barat –yakni peradaban materialistis yang mengkonsentrasikan perhatian pada sisi materi— serta berpaling dari peradabannya sendiri, lalu mengikuti berbagai langkah materialisasi yang diciptakan Barat, baik secara mental, moral, bahkan secara religious, dengan cara memisahkan agama dari kehidupan. Juga keterjerumusan sebagian umat Islam pada paham yang telah dipublikasikan oleh kaum Komunis dan Sosialis bahwa manusia, menurut prinsip mereka, harus hidup dalam surga dunia dengan cara berserikat dalam segala hal. Kemudian fakta membuktikan kebohongan berbagai propaganda tersebut, yaitu ketika dengan secepat kilat dunia Komunisme dan Sosialisme mengalami kehancuran
- Sebab-sebab internal yang terpenting adalah penyimpangan terhadap sebagian sistem hukum yang dilakukan para hakim diberbagai negara di dunia Islam. Para hakim banyak dijajah oleh hawa nafsu dan mereka melakukan kerja sama dengan berbagai kekuatan Barat dan Timur yang memusuhi Islam
- Semua sebab yang ada di dunia Islam dan sebab-sebab lain yang tidak mampu dimuat dalam pengantar ini sampai dengan sebab-sebab eksternal yang telah kami sebutkan sekilas, telah mengakibatkan keterpurukan umat Islam, perpecahan, kehancuran, dan kemunduran peradaban mereka di abad yang kita hidup di dalamnya ini.
Hal yang mendesak untuk dilakukan adalah upaya agar umat Islam dapat keluar dari wilayah yang telah dijadikan target oleh gerakan musuh Islam. Dengan harapan umat Islam tidak terjebak terus-menerus dalam kondisi seperti ini: jauh dari Islam, terpuruk dan mundur peradabannya, yang semua itu akan memberi kesempatan emas bagi musuh hingga mereka semakin kokoh, yang berarti pula kaum muslimin membantu musuh untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Jalan Keluar Dari Perpecahan Dan Kehancuran
Umat islam tidak akan mampu memulai upayanya untuk merekonstruksi peradaban yang didasari iman, amal saleh, keadilan, ihsan, dan amar ma’ruf nahi munkar, kecuali bila mereka kembali berpegang pada manhaj islam dalam kehidupannya, sebagaimana mereka telah mampu membangun peradaban yang luhur yang diadopsi oleh Barat, baik secara praktis maupun teknis, dengan ajaran islam sebagai fondasinya
Manhaj Reformasi Para Reformis Muslim
Untuk menyeru umat islam agar berpegang pada manhaj agung ini dan menghidupkan pilar-pilar serta nilai-nilai agama dalam jiwa mereka maka di awal tiap seratus tahun, Allah membangkitkan seorang mujadid yang mereformasi urusan agamanya, sebagaimana terungkap melalui lisan Rasulullah yang ma’sum, sehingga umat Islam kembali berpegang teguh kepada manhajnya sendiri dan pada gilirannya mampu mengambil kembali kedudukan mereka yang sebenarnya, yakni sebagai pembimbing manusia ke jalan yang mampu memperbaiki agama dan kehidupan dunia.
Inilah aktivitas dan motivasi para reformis dan orang-orang saleh di sepanjang sejarah islam. Ketika seorang reformis berhasil membangkitkan umat islam untuk mengaplikasikan manhajnya, berarti umat islam telah berhasil mengembalikan peradabannya, sekalipun kanan-kiri mereka banyak musuh dan jumlah penentangnya bertambah.
Kami tidak pernah membayangkan seorang reformis Muslim, dari masa ke masa, kecuali dia memiliki niat yang baik dalam seruannya dan tak seorang pun kecuali akan mengatakan demikian. Martabat seseorang dari mereka tidak akan berkurang kecuali kalau dia digerakkan oleh hawa nafsunya atau didominasi oleh kebodohannya tentang Islam atau tentang reformasi dan pembaharuan agama ini.
Masalahnya adalah, ada sebagian reformis yang melihat sebab keterpurukan dan keterbelakangan peradaban umat islam lebih daripada sekadar sebab, sehingga dia memberi perhatian serius kepada langkah rehabilitasnya, menjadikan sebab tersebut sebagai puncak prioritas reformasi, atau bahkan membatasi reformasinya hanya pada upaya tersebut, sehingga mereka mampu menghapus bekasnya dan menghilangkan sama sekali dampak sebab-sebab tersebut. Dalam upayanya itu, dia menyalahi prinsip skala prioritas dalam reformasi sehingga menganggap sesuatu yang penting sebagai yang tidak penting dan yang tidak penting sebagai hal yang penting.
Sebagai contoh:
Sebagian kaum reformis ada yang menekankan perhatiannya pada reformasi aqidah, mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa aqidahnya baik dan bebas dari berbagai polusi, maka perbuatannya akan baik, karena perbuatan itu keluar dari aqidah. Ketika aqidah seseorang benar, maka perbuatannya pun pasti akan benar. Pendapat ini tidak salah, meskipun tidak benar keseluruhannya.
Sebagian kaum reformis ada yang menekankan perhatiannya pada aspek ibadah, sehingga mereka memprioritaskan langkah reformasi padanya. Mereka meyakini bahwa barangsiapa benar Ibadahnya, maka dia sudah berjalan sesuai syari’at, sudah berada di jalan yang benar, bertaqwa, dan mendekatkan diri kepada Allah. Barangsiapa seperti itu maka Allah akan memperbaiki orang tersebut sehingga dia menjadi baik karenanya. Bahkan dia akan diberi pahala dengan kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Ibadah yang benar, menurut Allah, merupakan kunci segala kebaikan dan tutup segala kejelekan, baik di dunia maupun di akhirat. Demikian menurut kelompok ini.
Sebagian reformis ada yang berpandangan bahwa aspek paling urgen dalam langkah reformasi adalah memperbaiki dan membersihkan mental dari berbagai polusi serta memperkuat komunikasi dengan penciptanya, sehingga bertambahlah kecenderungan dan kecintaannya kepada-Nya dan pada gilirannya mental tersebut mampu mencapai tingkat keridhaan kepada Allah. Barangsiapa mampu mencapai tingkat tersebut maka Allah berjanji kepadanya akan mengabulkan permintaannya dan memberi pertolongan kepadanya. Seorang muslim diharapkan mampu mencapai tingkatan ini, sehingga terbuka di hadapannya pintu-pintu kebaikan yang terkunci dan tertutup pintu-pintu kejelekan yang terbuka sebelumnya.
Sebagian mereka ada yang berpandangan bahwa perang melawan kemungkaran dan kekejian, baik yang tampak maupun yang tidak, merupakan reformasi, dalam arti mengentaskan umat islam dari kondisi buruk sekarang ini. Dia memberikan prioritas pada masalah ini dengan proporsi yang besar, karena berpijak pada keyakinan bahwa para pelaku kejahatan dan kemungkaran tidak mungkin menjadi kekasih Allah. Maka tidak ada kesuksesan dan kejayaan di tangan mereka. Lihatlah, bagaimana pertolongan Allah dalam berbagai peperangan melawan musuh-musuh islam. Pertolongan tersebut tidak akan datang kecuali kepada orang-orang mukmin.
Sebagian reformis melihat adanya penyakit kronis di tubuh umat islam akibat kecerobohan mereka dalam memperlakukan teks Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka memandang penting mengambil Dzahir teks-teks tersebut secara harfiah tanpa ta’wil. Maka mereka mencurahkan pada dzahir teks-teks tersebut secara harfiah dan kembali pada langkah kaum salaf, karena hal itulah yang menjadi terapi dan kebebasan dari keterpurukan dan kehancuran umat ini.
Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa umat Islam sekarang membutuhkan seruan kepada Allah dan membutuhkan pengajaran agama sehingga mereka mau keluar di jalan Allah untuk menyeru ke (jalan)-Nya dan menunjukkan umat manusia kepada agama mereka. Barangsiapa mengetahui masalah agamanya, maka hanya amal saleh yang akan keluar dari dirinya dan dalam amal saleh itu sendiri mengandung terapi bagi umat islam.
Sebagian mereka ada yang mengatakan, “Saya akan membangun fondasi yang kokoh bagi umat Islam, dan amal saleh mengandung terapi bagi umat islam yang paham. Saya akan mendidik mereka dalam kesunyian dan di sudut-sudut kota, sehingga mereka benar-benar mengetahui apa yang harus diketahui.”
Maka kelompok tersebut menempuh jalan kema’rifatan bersama mereka. Ia berpandangan bahwa jalan ituah hakikat terapi dan pencapaian tingkat tertinggi yang merupakan keselamatan di dunia dan akhirat.
Sebagian reformis ada yang mengatakan, “Sesunguhnya dunia Islam sedang kehilangan figur, seandainya ada figur yang bijak mau memberi petunjuk, niscaya kondisi seperti ini tidak pernah terjadi.” Maka dia berpandangan untuk mendidik para tokoh dan menjelaskan bahwa mendidik seorang figur lebih baik daripada mendidik seribu tentara. Dia terus berada pada langkahnya dengan keyakinan bahwa langkah itulah yang paling tepat dan menjadi terapi keterpurukan dan kehancuran umat ini.
Sebagian reformis ada pula yang mengatakan bahwa penyakit umat islam adalah kebodohan. Maka dia membangun program reformasinya dengan memberikan perhatian besar pada ilmu dan pemikiran dengan menjelaskan bahwa jalan kemajuan umat di masa silam dan sekarang adalah ilmu pengetahuan dan keunggulan mereka terletak di dalamnya. Inilah hakekat rehabilitasi dari kemunduran peradaban yang sedang dialami oleh umat islam sekarang.
Sebagian mereka ada lagi yang mengatakan bahwa bangsa Barat tidak melampaui kita kecuali dengan teknologi, sehingga bangsa Barat menjadikan teknologi sebagai cara yang mereka tempuh untuk mencapai keinginannya, yakni kekuatan dan dominasi terhadap berbagai bangsa. Kemudian mereka memantapkan cara itu dengan turun ke berbagai wilayah tempat mereka memasarkan kemajuan teknologinya, lalu mereka menjadikan berbagai teknologinya itu sebagai rahasia yang tidak boleh dipublikasikan. Maka kelompok ini menempuh cara tersebut dengan anggapan bahwa cara itulah yang bisa mengantarkan kepada kebaikan dan reformasi.
Sebagian kaum reformis ada yang melihat bahwa kendala penyatuan umat islam adalah para musuh. Ia mendeklarasikan: “saya akan memerangi musuh-musuh tersebut dan menjadikan mereka seagai focus. Apabila saya telah berhasil membebaskan umat dari mereka dan dari serangan mereka terhadap agma maka saya benar-benar telah mewujudkan langkah-langkah reformasi dan menghilangkan berbagai aral dari jalan, sehingga umat islam dapat melintasi jalan tersebut dan aman dari berbagai gangguan.
Sebagian reformis ada yang menyatakan, “Sekarang adalah zaman fitnah. Kecarut-marutan umat islam serta permusuhan antar mereka mendorong kita untuk hidup dalam era fitnah. Dlam hal fitnah, kita harusa menjauhkan diri darinya dan dari para pelakunya, sehingga kita tidak bersekutu dengan mereka yang mndorong kita menyalahi agama dan hukum-hukumnya. Apabila umat islam tidak terjun ke dalam fitnah tersebut atau tidak bergabung dengan pelakunya, maka terbuka lebar bagi mereka kondisi perdamaian dan reformasi.”
Sebagian mereka ada yang mengatakan, “Sesungguhnya komunitas umat islam sekarang dengan sistem hukumnya yang mengancam islam sendiri dan para hakim yang mneghukum umat islam serta mengotak-atik Al-Qur’an dan Sunnah adalah komunitas jahiliah. Maka tidak boleh hidup berdampingan dengan mereka, sebaliknya harus diputus hubungan dan dihindari sampai tiba pertolongan Allah. Ketika itu, terbebaslah umat islam dari kecarut-marutan dan kemunduran peradaban.”
Manhaj Reformasi Imam Al-Banna
Di antara reformis ada yang memiliki teori yang lebih komprehensif dan jelas. Dia menandaskan bahwa memberikan terapi sebagian dan membiarkan sebagian yang lain bukan merupak cara yang baik. Maka Allah telah membukakan pintu kebenaran dan member taufiq kepadanya ke jalan-Nya, kemudian Dia memberikan petunujuk tentang terapi yang benar. Orang ini (Al-Banna) mengatakan, sesungguhnya terapi bagi keterpurukan, perpecahan kata, kehancuran, dan kemunduran peradaban umat islam tidak bisadilakukan dengan terapi tunggal, ia harus dengan terapi kom[erhensif. Begitu juga manhaj reformasi untuk membebaskan umat islam dari keterpurukannya haruslah komprehensif tanpa memprirotaskan manhaj salah satu reformis, tapi harus mencakup seluruh unsur reformasi. Dengan itulah kondisi umat islam akan membaik.”
Unsur-unsur reformasi ini adalah:
1. Al-fahm: memahami agama islam dengan benar dan komprehensif
2. Al-ikhlash: ikhlas Karena Allah dalam beramal untuk agama
3. Al-‘amal: beramal demi agama ini dengan memperbaiki diri sendiri, rumah tangga muslim, masyarakat, pemerintah, dst
4. Al-jihad: jihad fi sabilillah dengan berbagai tingkatan dan variasinya
5. At-tadhliyah: berkorban watktu, kesungguhan, harta, dan jiwa demi agama
6. At-tha’ah: menaati Allah dan Rasul-Nya, baik dalam kondisi susah atau mudah, senang maupun benci
7. Ats-tsabat: memegan teguh agama, baik dari sisi aqidah, syari’ah, maupun perbuatan, sekalipun harus memakan waktu yang panjang untuk sampai pada tujuan
8. At-tajarrud: membersihkan diri dari pemikiran yang bertentangan dengan pemikiran islam dan dari setiap orang atau teman yang memisahkan seorang muslim dengan loyalitas kepada agamanya.
9. Al-ukuwwah: persaudaraan dalam agama, karena persaudaraan merupakan saudara persatuan dan terapi bagi keterpurukan dan kehancuran. Sedangkan perpecahan merupakan saudara kekufuran
10. At-tsiqah: kemantapan hati dalam mengontrol perbuatan demi islam sesuai dengan kaidah islam yang mengatakan, “Tidak ada ketaatan daam bermaksiat kepada Khaliq.”
Kesepuluh rukun (bai’at) di atas merupakan item-item manhaj reformasi yang mampu mengobati umat islam dari keterpurukan, perpecahan, dan kemunduran peradaban. Inilah manhaj yang diilhamkan oleh Allah kepada Imam Hasan Al-Banna, sehingga dia menulis Risalah yang menjadi risalah terlengkap dari sekian banyak risalahnya dan sekaligus menjadi dokumen terpenting bagi jama’ah yang memperhatikan kejelasan agendanya secara detail untuk memperbaiki kondisi umat islam dan mepersiapkan mereka guna mengendalikan peradaban umat manusia.
Dalam buku yang singkat ini, kami berupaya untuk memberikan penjelasan dan perincian yang sesuai dengan standar karya ilmiah akademis, agar buku ini dengan semua uraiannya dapat menjadi petunjuk kepada manhaj Jama’ah Ikwanul Muslimin dalam melakukan reformasi public kehidupan manusia melalui manhaj dan sistem islam. Juga agar dapat menegaskan kepada umat manusia bahwa moto “Islam adalah solusi” bukan omong kosong dan bukan hanya sekadar moto an sich, akan tetapi benar-benar diringi dengan manhaj yang komprehensif dan bersumber dari islam untuk memperbaiki aqidah, pemikiran, dan kultur serta memperbaiki ibadah, akhlak, dan amal. Inilah sesungguhnya reformasi sosial, ekonomi, dan politik. Ini pula sesungguhnya reformasi dakwah, harakah, pendidikan, dan sistem yang integral dan komprehensif.
Agar kita bisa menyampaikan Risalah Ta’lim ini kepada umat manusia secara umum dan kepada orang-orang yang berprasangka bahwa moto “Islam adalah Solusi” hanyalah moto belaka tanpa diiringi dengan manhaj yang jelas, kami akan menyampaikan kepada mereka realitas baru, yaitu bahwa moto “Islam adalah Solusi” benar-benar diiringi dengan manhaj yang dapat menghantarkan kepada tujuan dengan pasti dan menyeluruh.
Imam Mu’assis (pendiri Jama’ah Ikhwanul Muslimin) mengarahkan pesan ini kepada para sufi dari kalangan Ikhwanul Muslimin yang telah matang dalam amal dan dakwahnya, dan dalam harakah dan tarbiaahnya, dan telah memiliki skill dalam jihad fi sabilillah untuk mengaplikasikan manhaj islam dalam kehidupan. Oleh karena itu, meereka disebut para “mujahidin Ikhwan” karena beban jihad yang mereka pikul dengan segala tingkat dan jenis demi mengaplikasikan manhaj ini.
Dalam risalah yang sama mereka juga digelari para “Shadiqin Ikhwan”, karena mereka telah membenarkan janji Allah dan mereka masuk dalam barisan jama’ah. Mereka telah berjanji kepada-Nya dan berbai’at untuk beramal semampu mengaplikasikan manhaj islam dalam melakukan reformasi, dengan meyakini bahwa islam adalah solusi problem apapun dalam kehidupan manusia.
(bersambung)
Langganan:
Postingan (Atom)